Menghidupkan Kembali Nilai Budaya dan Ekologi dalam PJOK


Oleh: Rahmat Rialdi, S.Pd.

Mahasiswa Magister Pendidikan Jasmani, Universitas Lambung Mangkurat


BORNEOTREND.COM - Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan (PJOK) sering dianggap sebagai pelajaran yang fokus pada kebugaran fisik semata. Namun, di balik keringat dan gerak tubuh, tersimpan potensi besar untuk menanamkan nilai-nilai keberlanjutan baik sosial-budaya maupun ekologis. Di era ketika perubahan iklim dan krisis lingkungan menjadi ancaman nyata, PJOK bisa menjadi pintu masuk untuk membentuk generasi yang sehat jasmani, peduli sosial, dan sadar lingkungan.

Kebanyakan siswa mengenal PJOK sebagai pelajaran di lapangan sekolah atau aula tertutup. Padahal, alam menyediakan ruang belajar yang jauh lebih kaya. Lahan basah seperti rawa, danau, dan pesisir bukan sekadar lanskap indah, melainkan ekosistem penting yang menopang kehidupan manusia dan budaya. Di wilayah seperti Kalimantan Selatan, misalnya, masyarakat telah lama hidup berdampingan dengan lahan basah dan membangun kebiasaan unik di atas air. Di sana, aktivitas seperti balap perahu, egrang di lumpur, hingga permainan tradisional di tepian sungai bukan hanya hiburan, tetapi warisan budaya yang sarat nilai.

Membawa pembelajaran PJOK ke lingkungan seperti ini berarti mengajak siswa mengenal akar identitasnya. Mereka tidak hanya bergerak untuk sehat, tetapi juga untuk memahami relasi antara tubuh, budaya, dan alam. Aktivitas fisik di ruang terbuka mengajarkan adaptasi, kerja sama, serta ketangguhan. Ketika siswa harus menyeimbangkan diri di atas egrang di lahan basah, mereka sebenarnya juga sedang belajar menyeimbangkan nilai-nilai hidup.

Keberlanjutan sosial-budaya bukan sekadar soal melestarikan tarian atau pakaian tradisional. Lebih dari itu, ia adalah tentang mempertahankan cara hidup dan nilai-nilai yang menyatukan masyarakat. Permainan rakyat dan olahraga tradisional di lahan basah mengandung nilai edukatif yang dalam: kejujuran, sportivitas, kerja sama, dan ketekunan. Nilai-nilai ini bisa dan seharusnya dihidupkan kembali dalam kurikulum PJOK.

Guru PJOK dapat menjadikan permainan tradisional seperti balap perahu, gobak sodor, atau egrang air sebagai bahan ajar kontekstual. Setiap permainan bisa diiringi dengan diskusi tentang makna budaya dan filosofi di baliknya. Misalnya, balap perahu bukan hanya soal siapa yang paling cepat, tetapi juga soal kekompakan tim, strategi, dan menghormati alam tempat mereka berlomba.

Melalui cara ini, siswa tidak hanya belajar bergerak, tetapi juga menghargai warisan leluhur mereka. Lahan basah menjadi ruang di mana olahraga bertemu dengan kearifan lokal. Sekolah pun menjadi pusat pelestarian budaya, bukan sekadar tempat belajar teori dan keterampilan fisik.

Selain aspek sosial-budaya, PJOK juga berpotensi besar menjadi wadah pendidikan lingkungan. Dalam konteks lahan basah, pembelajaran dapat dirancang untuk meningkatkan kesadaran ekologis siswa. Misalnya, lomba lari bersih (clean run) di mana peserta tidak hanya berlari, tetapi juga mengumpulkan sampah di sepanjang jalur lomba. Atau kegiatan hiking di sekitar rawa yang disertai refleksi kelompok tentang pentingnya menjaga keseimbangan alam.

Kegiatan seperti ini mengajarkan bahwa olahraga tidak harus selalu kompetitif; ia bisa menjadi bentuk kontribusi bagi lingkungan. Dengan cara yang menyenangkan, siswa belajar tentang daur ulang, konservasi air, dan pentingnya menjaga habitat alami. Lebih jauh lagi, PJOK dapat menjadi tempat untuk mengajarkan mitigasi bencana, seperti simulasi evakuasi banjir sebuah pengetahuan vital bagi masyarakat yang hidup di kawasan rawan genangan air.

Dengan begitu, kebugaran jasmani tidak lagi berdiri sendiri. Ia menjadi bagian dari kebugaran ekosistem. Kesehatan manusia dan kesehatan bumi tidak bisa dipisahkan dan PJOK dapat menjadi jembatan di antara keduanya.

Bayangkan sebuah festival sekolah yang menggabungkan olahraga, budaya, dan lingkungan: lomba dayung tradisional diiringi musik daerah, permainan rakyat di tepian sungai yang disertai kampanye pelestarian alam, hingga penanaman pohon bakau sebagai bagian dari kegiatan akhir tahun PJOK. Di sana, anak-anak belajar bahwa aktivitas jasmani bisa menjadi bagian dari gerakan sosial dan ekologis yang lebih luas.

Guru PJOK memainkan peran penting dalam mengorkestrasi integrasi ini. Mereka tidak hanya pelatih kebugaran, tetapi juga fasilitator nilai. Dengan menggandeng komunitas lokal, tokoh adat, dan lembaga lingkungan, pembelajaran PJOK bisa menjadi sarana penguatan hubungan antara sekolah dan masyarakat. Anak-anak tidak hanya diajarkan untuk menjadi sehat, tetapi juga untuk menjadi warga yang bertanggung jawab terhadap budaya dan lingkungan sekitarnya.

Untuk mewujudkan hal ini, kita perlu berani menata ulang cara berpikir tentang kurikulum PJOK. Materi olahraga modern tetap penting, tetapi seharusnya tidak menyingkirkan nilai-nilai lokal. Permainan tradisional dan kegiatan berbasis alam bisa menjadi bagian dari modul belajar yang memperkaya pengalaman siswa. Pemerintah daerah, khususnya di kawasan lahan basah seperti Kalimantan, Sumatera Selatan, dan Papua, bisa menjadikan pendekatan ini sebagai model pendidikan kontekstual yang khas daerah.

Kurikulum seperti ini bukan hanya akan melahirkan siswa yang bugar secara fisik, tetapi juga sadar terhadap isu sosial dan lingkungan. Mereka akan memahami bahwa menjadi sehat berarti hidup seimbang dengan alam dan komunitasnya. PJOK pun tidak lagi dianggap pelajaran pinggiran, melainkan garda depan pendidikan karakter dan keberlanjutan.

Di tengah gempuran gaya hidup instan dan urbanisasi yang makin cepat, PJOK berpotensi menjadi ruang pembelajaran yang memulihkan hubungan manusia dengan alam. Aktivitas jasmani bisa menjadi bentuk refleksi diri sebuah cara sederhana namun kuat untuk mengingatkan kita bahwa tubuh, budaya, dan bumi saling terhubung.

Lebih dari sekadar pelajaran olahraga, PJOK berperan dalam mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), terutama dalam aspek kesehatan, pendidikan, dan lingkungan. Ketika siswa belajar berlari sambil memungut sampah, menanam bakau, atau memainkan permainan tradisional yang diwariskan turun-temurun, mereka sedang menulis bab baru dalam sejarah pendidikan: bab tentang manusia yang bergerak bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk bumi.

Integrasi antara keberlanjutan sosial-budaya dan ekologi dalam PJOK bukan lagi sekadar wacana akademis. Ia adalah kebutuhan nyata. Dalam setiap gerakan, ada kesempatan untuk belajar tentang kehidupan. Dalam setiap permainan, ada ruang untuk menanamkan nilai. Dan dalam setiap napas yang diambil di alam terbuka, ada kesadaran bahwa manusia hanyalah bagian dari ekosistem besar yang perlu dijaga bersama.

PJOK masa depan harus menjadi ruang di mana tubuh bergerak, hati belajar, dan pikiran sadar. Di lahan basah yang penuh kehidupan, kita bisa memulai langkah baru: mengubah pelajaran olahraga menjadi gerakan cinta bumi dan budaya.

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال