![]() |
Oleh: Mohammad Effendy (Forum Ambin Demokrasi) |
Salah satu kebijakan pemerintah di bidang pertanahan yang mendapat sorotan dan kritikan tajam dari berbagai kalangan adalah mengenai pengaturan terhadap kepemilikan dan/atau pengelolaan tanah yang dianggap menelantarkannya selama rentang waktu 2 (dua) tahun. Jika terbukti bahwa tanah dimaksud telah ditelantarkan maka sanksinya adalah akan diambil oleh negara.
Aturan tentang tanah terlantar sebenarnya sudah ada dalam peraturan perundang-undangan agraria, namun ia lebih ditujukan kepada hak pengelolaan tanah misalnya berupa Hak Guna Usaha (HGU) atau Hak Guna Bangunan (HGB). Sebab, HGU dan/atau HGB yang ditelantarkan dapat merugikan pihak lain yang mungkin telah mengajukan permohonan yang sama , namun tidak dipenuhi oleh Pemerintah padahal pihak dimaksud benar-benar serius ingin menggarapnya.
Pejabat Pemerintah yang menjelaskan tentang aturan dimaksud bersandar kepada aturan normatif dengan menyatakan bahwa tanah itu adalah “milik Negara”, sehingga mereka yang mendapatkan hak kepemilikan dan/atau hak pengelolaan dari negara jika terbukti menelantarkannya dapat diambil kembali oleh negara. Penjelasan dengan gaya percaya diri yang tinggi tersebut memberi kesan bahwa pejabat pemerintah lebih menunjukkan logo jabatannya bukan berperan sebagai pelindung rakyat.
Pejabat Pemerintah dimaksud mungkin kurang memilkiki referensi tentang apa yang dimaksud dengan “tanah negara”. Bahasa konstitusinya adalah; “ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Terminologi “dikuasai negara” oleh para ahli ditafsirkan sebagai hak negara untuk mengatur pengelolaannya sehingga dapat mencapai tujuannya secara optimal yakni kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu jika hak pengaturan pengelolaan dimaksud yang dilakukan oleh negara dan ternyata justeru membawa dampak merugikan rakyat, maka Negara yang diwakili oleh Pemerintah telah merenggut rohnya konstitusi.
Mengapa aturan yang memiliki dampak besar terhadap masyarakat luas tersebut tidak dijelaskan dan disosialisasikan secara terbuka dalam suatu dialog publik. Masyarakat berhak mengetahui apa yang dimaksud dengan ditelantarkan, mengapa waktunya 2 (dua) tahun, bagaimana proses pembuktian adanya penelantaran, siapa petugas yang melakukan verifikasi dan bagaimana mekanisme verifikasi akan dilakukan, dan lain-lain.
Publik menjadi heboh dengan kebijakan pemerintah dimaksud karena semua orang tahu bahwa hukum di negeri kita susah ditebak kemana arah berakhinrya, sementara aparat pelaksana di lapangan sering memiliki tafsirnya sendiri. Mereka yang akan menjadi korban atau memang sengaja dikorbankan pasti masyarakat kelas bawah yang tidak berdaya, tidak mempunyai kemampuan finansial, serta tidak memiliki jaringan kekuasaan.
Masyarakat kita juga mengetahui secara jelas dan faktual bahwa kedudukan aparat pemerintah yang berada di tingkatan bawah seperti Kepala Desa atau Lurah dan Camat sering tidak melindungi rakyatnya, atau setidaknya tidak berdaya membela rakyatnya. Mereka tentu akan terlibat dalam proses administrtatif mengenai status tanah yang berada di wilayahnya. Sulit ditemukan ada pejabat pemerintah di level bawah tersebut berani mempertaruhkan jabatannya untuk membela kepentingan rakyatnya.
Masalah tanah sangat berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat, sehingga pengaturannya memerlukan ekstra kehati-hatian. Kekeliruan dalam membuat kebijakan dan aspek regulasi akan dapat menimbulkan banyak persoalan serius dan bahkan dapat memicu kegaduhan massa.
Oleh karena itu diperlukan kearifan semua jajaran pemerintahan, dan kearifan dimaksud digambarkan dengan menampilkan sikap pengayoman terhadap rakyat, bukan menonjolkan kewenangan jabatan. Pejabat pemerintahan yang sering menggunakan kewenangan jabatannya tapi bukan ditujukan untuk melindungi kepentingan masyarakat luas, maka di samping pejabat tersebut dianggap telah menyalahgunakan kewenangan dan amanah jabatannya, tapi lebih jauh pejabat dimaksud tanpa sadar telah mempertontonkan arogansi kekuasaan yang menyakiti rakyatnya sendiri. Masyarakat kian prihatin karena orang-orang seperti itu ternyata banyak di sekitar kita.