6 Tahun Mangkrak, Kasus Mafia Tanah Libatkan Oknum Kades di Batola — Kuasa Hukum Desak SP2HP

Kuasa hukum pelapor, Enis Sukmawati dari Kantor Hukum Nenggala Alugoro (kanan). Foto-dok. Istimewa


BORNEOTREND.COM, KALSEL - Dugaan kasus mafia tanah yang menyeret oknum Kepala Desa di Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan, kembali mencuat. Kasus yang dilaporkan oleh SH sejak 2019 terkait dugaan penyerobotan lahan seluas 1.000 meter persegi hingga kini belum menemui kejelasan. Ironisnya, salah satu tersangka, Abdul Kadir, justru masih aktif menjabat sebagai kepala desa.

Laporan yang teregistrasi dalam LP/95/IX/2019/Kalsel/Res Batola tertanggal 3 September 2019 menyebutkan adanya dugaan tindak pidana pemasukan keterangan palsu dalam akta otentik dan penyerobotan hak atas tanah, sebagaimana diatur dalam Pasal 263, Pasal 266 juncto Pasal 385 KUHP.

Kuasa hukum pelapor, Enis Sukmawati dari Kantor Hukum Nenggala Alugoro, menyampaikan bahwa pihaknya kembali mengajukan permohonan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) kepada Polres Barito Kuala. Ia menilai ada kejanggalan karena hanya satu dari dua tersangka yang berkasnya dilimpahkan ke Jaksa Penuntut Umum (JPU).

“Hanya berkas Jusriyan yang dikirim ke JPU pada Desember 2019. Sementara berkas Abdul Kadir tidak jelas kelanjutannya hingga enam tahun berlalu. Tidak ada SP2HP, apalagi SP3. Ini jelas mencederai asas kepastian hukum,” tegas Enis.

 

Lebih memprihatinkan lagi, lanjut Enis, meskipun Abdul Kadir telah berstatus tersangka, ia tidak pernah diberhentikan sementara dari jabatannya. Padahal, Pasal 18 ayat (1) PP Nomor 72 Tahun 2005 menegaskan bahwa kepala desa harus diberhentikan sementara jika menjadi tersangka tindak pidana dengan ancaman minimal 5 tahun penjara.

“Pemerintah desa adalah ujung tombak pelayanan publik. Jika seorang kepala desa tersangkut mafia tanah dan tetap menjabat, bagaimana masyarakat bisa percaya? Ini preseden buruk,” tegasnya.

Kasus ini bermula dari terbitnya sertifikat ganda atas lahan milik Sofyan Hutapea. Sertifikat asli miliknya telah terbit sejak 2005, namun muncul lagi sertifikat baru tahun 2017 untuk lahan yang sama. Padahal, Yurisprudensi Mahkamah Agung Tahun 2018 menyatakan bahwa sertifikat yang lebih dahulu terbit adalah yang memiliki kekuatan hukum.

Kasi Humas Polres Batola, IPTU Marum, saat dikonfirmasi hanya menyampaikan bahwa pihaknya akan melakukan pengecekan terlebih dahulu terhadap kasus ini.

Enis juga menyoroti lemahnya pengawasan internal aparat penegak hukum. Ia menyebut, penyidik yang menangani kasus tersebut telah pensiun, namun hingga kini tidak ada tindak lanjut administratif maupun penyidikan baru.

“Kami mendesak Polda Kalsel turun tangan dan segera memberikan SP2HP atau melanjutkan penyidikan. Ini bukan hanya soal tanah, tapi soal hak rakyat dan wibawa hukum,” tandas Enis.

Kasus ini menjadi cermin buram bagaimana mafia tanah bisa bersembunyi di balik kekuasaan dan jabatan, dan menjadi alarm bagi pemerintah pusat maupun daerah untuk segera membenahi sistem pengawasan dan penegakan hukum agar hak rakyat tidak terus dikorbankan.

Penulis: Sri Mulyani


Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال