![]() |
Seorang anak berjalan di antara puing reruntuhan masjid yang dibom penjajah Israel - Foto Net |
BORNEOTREND.COM, JAKARTA - Pelapor Khusus PBB untuk wilayah Palestina, Francesca Albanese, menyebut sejumlah perusahaan dari berbagai negara, termasuk Amerika Serikat, Meksiko, dan China, diduga terkait langsung dengan genosida yang dilakukan Israel di Jalur Gaza.
Dalam laporan terbarunya yang dijadwalkan akan dipresentasikan pada Kamis (3/7/2025) di Jenewa, Swiss, Francesca Albanese menyampaikan temuan awal bahwa sejumlah perusahaan swasta dan lembaga publik dari berbagai negara telah diuntungkan dari konflik berkepanjangan dan serangan brutal Israel di Gaza.
“Pendudukan yang berlangsung lama telah menjadi tempat pengujian yang ideal bagi produsen senjata dan perusahaan teknologi besar—dengan pasokan dan permintaan signifikan, pengawasan minim, serta akuntabilitas nol,” tulis laporan itu, dikutip dari Al Jazeera.
Albanese menekankan bahwa keterlibatan perusahaan-perusahaan ini tidak hanya sebagai penyedia dukungan teknis atau logistik, tetapi telah menjadi bagian struktural dalam ‘ekonomi genosida’ yang memungkinkan kekejaman terus berlangsung.
Meski laporan belum mempublikasikan daftar lengkap perusahaan yang diselidiki, entitas dari AS, Meksiko, dan China tercatat termasuk dalam investigasi awal. Laporan ini disebut hanya sebagai bagian awal dari ribuan perusahaan dan investor yang saat ini tengah diperiksa atas dugaan keterlibatan dalam agresi Israel terhadap rakyat Palestina.
“Perusahaan tidak lagi sekadar terlibat dalam pendudukan — mereka mungkin tertanam dalam ekonomi genosida,” tulis Albanese.
Albanese sebelumnya telah menyatakan bahwa terdapat “alasan masuk akal untuk mempercayai bahwa Israel melakukan genosida di Gaza.” Laporan terbaru ini memperluas fokus dengan menunjukkan bagaimana intervensi dan dukungan korporat berperan penting dalam melanggengkan tindakan tersebut.
“Genosida ini terus berlangsung karena menguntungkan bagi banyak pihak,” kata Albanese dalam pendapat ahlinya tahun lalu.
Laporan lengkap akan dipaparkan di forum resmi PBB dan dapat menjadi dasar advokasi hukum internasional terhadap entitas bisnis yang terlibat. Pemeriksaan lanjutan juga melibatkan mekanisme pelacakan investasi dan pengadaan senjata.
PBB belum memberikan rincian apakah sanksi atau tindakan hukum akan diterapkan terhadap perusahaan-perusahaan yang terbukti terlibat. Namun laporan ini diperkirakan akan memicu tekanan internasional baru terhadap Israel dan mitra bisnis globalnya.
Perusahaan yang Terkait Genosida Gaza
Dalam laporan PBB, pengadaan jet tempur F-35 oleh Israel merupakan bagian dari program pengadaan senjata terbesar di dunia, yang melibatkan sedikitnya 1.600 perusahaan di delapan negara. Program ini dipimpin oleh Lockheed Martin yang berkantor pusat di AS tetapi komponen F-35 dibuat secara global.
Pabrikan Italia Leonardo S.p.A terdaftar sebagai kontributor utama di sektor militer. Sementara FANUC Corporation dari Jepang menyediakan mesin robotik untuk lini produksi senjata.
Sementara itu, sektor teknologi telah memungkinkan pengumpulan, penyimpanan, dan penggunaan data biometrik warga Palestina oleh pemerintah. Menurut laporan itu, ini mendukung rezim perizinan diskriminatif Israel.
Microsoft, Alphabet (induk Google) dan Amazon memberi Israel akses yang hampir setara dengan pemerintah terhadap teknologi cloud dan AI mereka. Ini berguna untuk meningkatkan kapasitas pemrosesan data dan pengawasannya ke Gaza.
Perusahaan teknologi AS, IBM juga bertanggung jawab untuk melatih personel militer dan intelijen. Dalam laporan itu, secara detil dijelaskan bahwa mereka juga memiliki andil mengelola basis data pusat Otoritas Kependudukan, Imigrasi, dan Perbatasan Israel (PIBA) yang menyimpan data biometrik warga Palestina.
"Ditemukan bahwa platform perangkat lunak AS Palantir Technologies memperluas dukungannya kepada militer Israel sejak dimulainya perang di Gaza pada Oktober 2023," muat Al-Jazeera lagi.
"Laporan itu mengatakan ada alasan yang masuk akal untuk percaya bahwa perusahaan tersebut menyediakan teknologi kepolisian prediktif otomatis yang digunakan untuk pengambilan keputusan otomatis di medan perang, untuk memproses data dan membuat daftar target melalui sistem kecerdasan buatan termasuk kecerdasan "Lavender", "Gospel" dan "Where's Daddy?," jelasnya laman itu mengutip laporan.
HD Hyundai hingga Booking.com Disebut Ikut Terlibat
Laporan tersebut juga mencantumkan beberapa perusahaan yang mengembangkan teknologi sipil yang berfungsi sebagai "alat serba guna" untuk pendudukan Israel atas wilayah Palestina. Perusahaan-perusahaan tersebut meliputi Caterpillar, Rada Electronic Industries milik Leonardo, HD Hyundai dari Korea Selatan (Korsel), dan Volvo Group dari Swedia, yang menyediakan mesin berat untuk penghancuran rumah dan pembangunan permukiman ilegal di Tepi Barat.
Platform persewaan Booking dan Airbnb juga membantu permukiman ilegal. Di mana keduanya mencantumkan properti dan kamar hotel di wilayah pendudukan Israel.
Laporan tersebut menyebutkan Drummond Company dari AS dan Glencore dari Swiss. Keduanya sebagai pemasok utama batu bara untuk listrik ke Israel, yang sebagian besar berasal dari Kolombia.
Di sektor pertanian, Bright Dairy & Food dari China merupakan pemilik mayoritas Tnuva, konglomerat makanan terbesar di Israel, yang mendapatkan keuntungan dari tanah yang disita dari warga Palestina di pos-pos ilegal Israel. Netafim, sebuah perusahaan yang menyediakan teknologi irigasi tetes yang 80% sahamnya dimiliki oleh Orbia Advance Corporation asal Meksiko, menyediakan infrastruktur untuk mengeksploitasi sumber daya air di Tepi Barat yang diduduki.
Menurut laporan tersebut, obligasi pemerintah juga memainkan peran penting dalam mendanai perang yang sedang berlangsung di Gaza. Beberapa bank terbesar di dunia, termasuk BNP Paribas dari Prancis dan Barclays dari Inggris, tercatat telah turun tangan untuk memungkinkan Israel menahan premi suku bunga meskipun terjadi penurunan peringkat kredit.
Laporan tersebut juga mengidentifikasi perusahaan investasi multinasional AS sebagai investor utamanya. Mereka adalah BlackRock dan Vanguard, di balik beberapa perusahaan yang terdaftar.
BlackRock, merupakan manajer aset terbesar di dunia. Perusahaan itu merupakan investor institusional terbesar kedua di Palantir (8,6%), Microsoft (7,8%), Amazon (6,6%), Alphabet (6,6%), dan IBM (8,6%), dan ketiga terbesar di Lockheed Martin (7,2%) dan Caterpillar (7,5%).
Vanguard juga merupakan pengelola aset terbesar kedua di dunia. Perusahaan merupakan investor institusional terbesar di Caterpillar (9,8%), Chevron (8,9%), dan Palantir (9,1 %), serta terbesar kedua di Lockheed Martin (9,2%) dan produsen senjata Israel Elbit Systems (2%).
Kapitalisme Rasial Kolonial
Masih mengutip laman yang sama, laporan tersebut menyatakan bahwa "upaya kolonial dan genosida yang terkait dengannya secara historis didorong dan dimungkinkan oleh sektor korporasi". Ekspansi Israel di tanah Palestina adalah contoh dari "kapitalisme rasial kolonial", di mana entitas korporasi mendapat untung dari pendudukan ilegal.
Bagi perusahaan-perusahaan senjata asing, perang telah menjadi usaha yang menguntungkan. Pengeluaran militer Israel dari tahun 2023 hingga 2024 melonjak 65%, yang berjumlah US$46,5 miliar (sekitar Rp 755 triliun), menjadi salah satu yang tertinggi per kapita di seluruh dunia.
Beberapa entitas yang terdaftar di bursa saham, khususnya di sektor persenjataan, teknologi, dan infrastruktur, telah mengalami peningkatan laba sejak Oktober 2023. Bursa Efek Tel Aviv juga mengalami kenaikan yang belum pernah terjadi sebelumnya sebesar 179%, sehingga menambah nilai pasar sebesar US$157,9 miliar.
Perusahaan asuransi global, termasuk Allianz dan AXA, menginvestasikan sejumlah besar saham dan obligasi yang terkait dengan pendudukan Israel, menurut laporan tersebut. Sebagian sebagai cadangan modal tetapi terutama untuk menghasilkan laba.
Booking dan Airbnb juga terus memperoleh keuntungan dari penyewaan di tanah yang diduduki Israel. Airbnb sempat menghapus properti di pemukiman ilegal pada tahun 2018 tetapi kemudian kembali menyumbangkan laba dari daftar tersebut untuk tujuan kemanusiaan, sebuah praktik yang disebut laporan tersebut sebagai "humanitarian-washing".
Padahal, menurut laporan Albanese, entitas korporat berkewajiban untuk menghindari pelanggaran hak asasi manusia (HAM) melalui tindakan langsung atau dalam kemitraan bisnis mereka. Negara memiliki tanggung jawab utama untuk memastikan bahwa badan usaha menghormati HAM dan harus mencegah, menyelidiki, dan menghukum pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku swasta.
Sumber: cnbcindonesia.com