Jangan Lengah Gencatan Senjata Dagang AS-China, Ekonom UGM Ingatkan Pemerintah Tetap Waspada

JABAT TANGAN: Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping berjabat tangan – Foto BBC.com


BORNEOTREND.COM, JAKARTA – Meski tensi dagang antara Amerika Serikat dan China mulai mereda setelah kesepakatan penurunan tarif selama 90 hari, namun Pemerintah Indonesia diminta tidak terlena oleh meredanya ketegangan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China. Hal ini disampaikan Ekonom Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada, Sekar Utami Setiastuti, dalam EB Journalism Academy di Yogyakarta, Rabu (14/5/2025).

"Masih waspada, karena Trump itu kan volatile (tidak stabil) banget, ya. Itu kan baru perundingan pertama. Tapi kita belum lihat sama negara lain juga kayak gimana. Jadi, enggak bisa terus kita santai-santai, tetap harus resilien dan tetap harus waspada," kata Sekar dalam EB Journalism Academy di FEB UGM, Yogyakarta.

Perundingan antara AS dan China di Geneva, Swiss, baru-baru ini menghasilkan kesepakatan untuk saling menurunkan tarif impor selama 90 hari. Hal itu menjadi sinyal meredanya ketegangan perang dagang untuk sementara waktu.

Selain tetap waspada, menurut Sekar, Pemerintah RI harus bersiap jika sewaktu-waktu dampak perang dagang itu benar-benar terasa terhadap perekonomian dalam negeri.

"Kalau ada dampak negatif, ya gimana cara kita kasih stimulus ke yang memang terdampak. Misalnya dalam jangka panjang ada satu sektor yang terdampak, ya berarti kan memang mungkin di situ nanti perlu ada stimulus ke sektor-sektor tertentu," ujarnya.

Ia mengatakan gejolak ekonomi global akibat perang dagang umumnya tercermin dalam aktivitas ekspor dan impor. Jika perlambatan terjadi di level global, ekspor Indonesia berpotensi ikut terpengaruh.

"Kalau kita kemudian demand-nya turun, mungkin impor kita juga akan turun. Net ekspornya enggak akan turun terlalu banyak. Jadi agak sedikit delicate (rumit), memang harus dilihat supply chain (rantai pasok) kita itu kayak gimana," tutur Sekar.

Namun ia menilai inflasi domestik sejauh ini masih terkendali. Meski begitu, potensi inflasi impor tetap harus diperhatikan, terutama jika harga bahan pokok terdampak.

"Kalau kita khawatirkan import inflation, sebenarnya mungkin masih ada space. Cuma memang khawatirnya itu kalau kemudian terjadi kenaikan di harga-harga bahan pokok. Itu yang nanti mungkin memberikan dampak langsung," ujarnya.

Sekar pun mengingatkan pemerintah agar tidak menganggap enteng dampak perang dagang dengan melontarkan respons yang tepat ke publik.

"Pemerintah tetap harus mencoba melihat efeknya kayak gimana. Jangan terus merasa aman dan tahan banting, padahal situasi bisa berubah cepat," ucap Sekar.

Sekar menambahkan, meskipun tensi dagang AS-China saat ini tampak mulai mereda, kondisi global tetap tidak menentu dan bisa kembali berubah.

"Walaupun kemudian Trump seolah sudah melunak, itu bukan berarti bahwa masalahnya selesai," tutur Ketua Program Studi Sarjana Ilmu Ekonomi FEB UGM ini.

Seperti diketahui, Amerika Serikat (AS) dan China sepakat memangkas tarif impor sementara selama 90 hari. Keputusan ini diambil setelah kedua pihak perwakilan bertemu di Jenewa, Swiss untuk meredakan ketegangan perdagangan yang telah berlangsung dalam beberapa waktu terakhir.

Pertemuan tersebut menyepakati produk-produk asal AS yang masuk ke China dikenakan tarif 10% dari sebelumnya 125%. Sementara barang-barang dari China ke AS dikenakan tarif 30% dari sebelumnya 145%.

"Kami telah mencapai kesepakatan mengenai jeda 90 hari dan secara substansial menurunkan tingkat tarif. Kedua belah pihak akan menurunkan tarif sebesar 115%," kata Menteri Keuangan AS Scott Bessent dikutip dari CNBC, Rabu (14/5/2025).

Jeda 90 hari dimulai dari Rabu (14/5). Baik China maupun AS mengatakan bahwa mereka akan melanjutkan diskusi mengenai kebijakan ekonomi dan perdagangan.

Investor pun terhibur dengan kabar tersebut. Di AS, indeks berjangka Nasdaq menunjukkan kenaikan 3,7%, indeks berjangka S&P 500 naik 2,7% dan Dow Jones naik lebih dari 840 poin atau 2%.

Harga minyak juga melonjak. Minyak mentah berjangka patokan internasional Brent dengan kedaluwarsa Juli diperdagangkan 2,7% lebih tinggi menjadi US$ 65,66 per barel, sementara minyak mentah berjangka West Texas Intermediate AS berada pada US$ 62,81 atau naik 2,9% untuk sesi tersebut.

Kepala Ekonom Asia di Capital Economics, Mark Williams menggambarkan gencatan senjata perang dagang sebagai de-eskalasi substansial. Hanya saja kesepakatan itu tidak menjamin akan bersifat lama.

"Dalam keadaan seperti ini, tidak ada jaminan bahwa gencatan senjata 90 hari akan menghasilkan gencatan senjata yang langgeng," tutur Williams.

Sementara itu, Tai Hui, Kepala Strategi Pasar APAC di J.P. Morgan Asset Management mengatakan pengurangan tarif AS-China lebih besar dari yang diharapkan. Hal itu mencerminkan kedua belah pihak mengakui bahwa tarif akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi global dan negosiasi merupakan pilihan terbaik untuk ke depannya.

"Periode 90 hari mungkin tidak cukup bagi kedua belah pihak untuk mencapai kesepakatan terperinci, tetapi hal itu tetap menekan proses negosiasi," ucap Hui dalam catatan penelitian.

Hui menyebut bahwa investor masih menunggu rincian lebih lanjut tentang persyaratan perdagangan lainnya, seperti apakah China akan melonggarkan pembatasan ekspor tanah jarang.

Sumber: Antara/detik.com

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال