Menilik Metode Pembelajaran Dialogis Paulo Freire Dalam Buku “Pendidikan Kaum Tertindas”

BELAJAR: Guru saat memberikan pelajaran kepada para murid - Foto Nett

Oleh: Vivin Putri Ediany Nur Wahyuni

Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Malang (NIM - 202110230311010)


Dari buku “Pendidikan Kaum Tertindas” dapat diperoleh informasi bahwa Paulo Freire adalah seorang penggiat dan pejuang pendidikan untuk kaum bawah atau rakyat biasa. Beliau berkontribusi besar dalam membantu dan memfasilitasi kaum tuna aksara untuk bisa mengenyam pendidikan dasar, seperti membaca dan menulis. Menurut Paulo Freire pendidikan untuk kaum tertindas harus merupakan perjuangan melawan penindasan dimana dunia dan manusia saling berinteraksi. Dalam buku ini, dirinya juga menyinggung tentang metode pembelajaran yang konvensional atau “sistem bank” yaitu sistem pembelajaran dimana guru sebagai subjek yang memiliki pengetahuan dan murid sebagai objek yang menjadi wadah untuk menampung pengetahuan dari guru. Freire ingin menggantiakan metode pembelajaran ini dengan metode dialogis, salah satunya dengan menciptakan sistem pembelajaran “problem posing education” atau pendidikan hadap masalah.

Metode pembelajaran di Indonesia pada saat ini telah berkembang pesat dan bermacam-macam mengikuti perkembangan zaman. Namun, hingga kini masih ditemui metode mengajar dengan guru menerangkan materi dan siswa menyimak penjelasan guru disekolah-sekolah. Metode pembelajaran seperti ini hanya berjalan satu arah saja dan termasuk dalam kategori konvensional. Sejak awal kita sudah terbiasa dengan metode ini. Pada masa kini metode pembelajaran konvensional dengan berceramah tidak selalu efisien dilakukan, karena hanya guru yang akan aktif sedangkan siswa hanya akan mendengarkan dan menerima saja, tanpa proses bertanya atau diskusi lebih dalam tentang materi pembelajaran. Maka dari itu perlunya mengubah metode ini menjadi metode pembelajaran dua arah dengan peran guru dan siswa yang setara dalam kegiatan diskusi untuk memecahkan suatu permasalahan dan saling melengkapi saat proses belajar. Metode ini disebut dialogis.

Metode dialogis yang dicetuskan Paulo Freire adalah metode pembelajaran yang mempertegas peran guru dan siswa dalam posisi setara atau sederajat. Tidak ada saling dominasi antara kedua belah pihak, namun saling mengisi dan melengkapi. Freire berpendapat bahwa pengetahuan sejati adalah pengetahuan yang menuntut penemuan dan kajian berkali-kali secara bersama-sama. “Pendidikan hadap masalah” seringkali membuka rahasia yang menantang manusia dan menuntut adanya jawaban terhadap tantangan ini. Penerapan metode dialogis ini cocok pada saat anak-anak memasuki usia remaja atau saat masuk Sekolah Menengah Pertama. Usia remaja merupakan usia penuh “pembaharuan” yang berarti seorang individu dapat menunjukkan kreativitas, menyampaikan pendapat, dan mengembangkan kecerdasan intelektualnya dengan bebas tidak terpaku pada sistem “dari atas” atau yang sudah ditentukan oleh orang lain dan sekolah. Pada rentang ini, anak-anak juga mempersiapkan diri menuju dewasa, belajar untuk menemukan jati dirinya, dan melihat dari berbagai sudut padang dalam menyelesaikan suatu permasalahan. 

Dalam teori Piaget, masa remaja masuk dalam tahap operasional formal dimana remaja mampu berpikir logis mengenai soal abstrak serta menguji hipotesis secara sistematis. Menaruh perhatian terhadap masalah hipotesis, masa depan, dan masalah ideologis. (Mukhlisah, 2015). Santrock menjelaskan bahwa perkembangan kognisi adalah salah satu aspek perkembangan seorang individu yang mengacu pada aktivitas mental tentang bagaimana informasi bisa masuk ke dalam pikiran, disimpan lalu diubah, serta diungkit kembali dan digunakan dalam aktivitas kompleks seperti berpikir, memecahkan suatu permasalahan, dan adaptasi. (Khiyarusoleh, 2016). Dalam lingkungan sekolah kemampuan seperti itu dapat diperoleh dengan menggunakan metode pembelajaran dialogis. Disisi lain metode dialogis masih belum terlalu diterapkan pada jenjang SMP, seringkali diterapkan mulai jenjang SMA dan perguruan tinggi. Hingga kini metode pembelajaran di SMP masih konvensional dengan menjelaskan materi, hafalan, dan minim berdiskusi. Bagian diskusi-pun juga sebatas pada kerja kelompok dengan materi yang sudah disajikan bukan membahas hal konkrit atau hal relevan yang terkait dengan materi. Siswa juga jarang aktif dalam kegiatan bertanya atau menyampaikan pendapat dalam proses belajar. Pemahaman mereka hanya sebatas konsep yang sudah ditentukan oleh guru. Sekolah juga memberi waktu dan memfasilitasi siswanya untuk mengembangkan bakat dan minat dengan adanya ekstrakurikuler. Kegiatan ini dilakukan pada hari Sabtu dan setelah jam pembelajarn akademik berlangsung. Namun waktu yang tersedia antara kegiatan akdemik dan non akademik memilki perbedaan yang cukup jauh. Dalam hal ini penerapan metode dialogis perlu diajarkan juga dalam proses pembelajaran saat guru sedang menjelaskan materi kepada siswanya atau kgiatan akademik.

Metode dialogis ini dapat diterapkan dengan melakukan kegiatan observasi, analisis, penelitian, problem solving, berdiskusi dua arah antara guru dengan siswa, dan melakukan kegiatan-kegiatan yang bisa mewadahi pengembangan jiwa kreatif dan eksploratif pada remaja. Kegiatan ini akan membantu remaja terbiasa berinteraksi dengan lingkungan masyarakat sekitar. Paulo Freire berpendapat bahwa metode ini mengajak untuk berpikir kritis, jeli, dan waspada terhadap perubahan sistem guru yang bisa berganti seiring dengan bergantinya menteri guru. Dalam sebuah jurnal, Bahruddin (2007) menjelaskan bahwa metode dialogis memiliki tujuh prinsip yang menjadi dasar dalam proses pembelajaran. Ketujuh prinsip ini, yaitu:

  1. Kebebasan dalam berpendapat atau berdiskusi, tidak kaku dan fleksibel.
  2. Tidak memihak sehingga semua berhak memperoleh pengetahuan yang ingin diketahui.
  3. Partisipatif dan sistem gurun sesuai kebutuhan masyarakat.
  4. Didukungnya sumber daya dalam penyediaan dan pengelolaan materi pembelajaran.
  5. Kerjasama, tidak ada sekat dalam pembelajaran dan mengajarkan kolaboratif dan berpikir kritis baik guru dan siswa.
  6. Sistem evaluasi berfokus pada siswa yang berarti siswa dapat mengevaluasi diri sehingga mengetahui potensi dan minatnya.
  7. Percaya diri dalam menjalani proses pembelajaran sehingga keberhasilan pembelajaran bergantung pada diri siswa sendiri.


Dalam hal ini, guru sebisa mungkin menghindari metode monologis dan monoton dalam proses pembelajaran. Dengan metode dialogis memungkinkan terjadinya komunikasi dan dialog multiarah antara guru dan siswa, siswa dengan siswa, dan guru-siswa dengan lingkungan sumber belajar. Salah satu tugas guru yang penting adalah membantu siswa untuk dapat berbicara dan mengungkapkan pendapat dan pikirannya, dan setelah ia lancar dalam mengungkapkan pendapat dan pikirannya, tugas guru berikutnya adalah membimbing pikiran dan pendapatnya, sehingga siswa diarahkan pada kesadaran akan pencapaian kebenaran yang logis, objektif, dan asli. Dengan demikian, kelak siswa menjadi manusia yang bertanggungjawab serta dapat mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya dalam menghadapi dunia yang nyata dan kompleks.

Sumber Referensi

  • Freire, P. (2008). Pendidikan Kaum Tertindas. In F. Danuwinata (Ed.). Jakarta, Indonesia: Penerbit Pustaka LP3ES Indonesia. 
  • Mauliya, A. (2019). Perkembangan Kognitif pada Peserta Didik SMP (Sekolah Menengah Pertama) Menurut Jean Piaget. ScienceEdu: Jurnal Pendidikan IPA, 2(2), 86-91. doi:10.19184/se.v2i2.15059.
  • Meilya, I., Fakhruddin, F., & Ekosiswoyo, R. (2010). PENGELOLAAN PEMBELAJARAN DIALOGIS PAULO FREIRE PADA PROGRAM PAKET B DI SEKOLAH ALTERNATIF QARYAH THAYYIBAH DESA KALIBENING SALATIGA JAWA TENGAH. Journal of Nonformal Education and Community Empowerment, 3(1). Retrieved from https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jnfc/article/view/3920


Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال