![]() |
| ORASI: Kader HMI Nabil Fadilah - Foto Dok Istimewa |
BORNEOTREND.COM, KALSEL- Kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Nabil Fadilah, menanggapi secara tajam fenomena penggunaan Artificial Intelligence (AI) yang kian masif di lingkungan mahasiswa.
Hal ini disampaikannya dalam forum Pekan Perkaderan Latihan Kader II (Intermediate Training) Tingkat Nasional HMI yang diselenggarakan oleh HMI Cabang (P) Tanah Laut (Tala), sabtu (20/12/2025) di Balai Latihan Kerja Pelaihari.
Nabil memperingatkan bahwa kemudahan yang ditawarkan teknologi AI berpotensi menciptakan degradasi kualitas intelektual jika kader terjebak dalam budaya serba instan.
Selain itu dalam penyampaiannya, Nabil juga menanggapi bahwa penggunaan AI yang tidak kritis melahirkan "ilusi keilmuan", di mana seseorang merasa cerdas hanya karena mampu menyajikan teks yang rapi tanpa melalui proses berpikir mendalam.
"Kemudahan AI melahirkan ilusi keilmuan seolah-olah seseorang memahami suatu gagasan hanya karena mampu menyajikan teks yang rapi dan sistematis. Banyak kader yang mulai menggantungkan proses belajar pada AI tanpa melalui tahapan berpikir yang mendalam. Akibatnya intelektualitas tidak lagi tumbuh sebagai proses, melainkan hanya sebagai hasil instan yang rapuh," tegas Nabil Fadilah.
Sebagai seorang Kader HMI, Nabil juga menyoroti bahwa jati diri organisasi yang dibangun di atas tradisi dialektika kini terancam oleh kebiasaan “copy-paste cerdas”. Ia menanggapi bahwa AI bekerja berdasarkan kompilasi data masa lalu, bukan melahirkan kesadaran kritis yang kontekstual.
"HMI sejatinya dibangun di atas tradisi dialektika: tesis, antitesis, dan sintesis. Ketika kader lebih memilih bertanya pada mesin daripada berdiskusi dengan sesama, maka ruang dialektika itu menyempit. Jika kondisi ini dibiarkan, maka kaderisasi HMI berisiko melahirkan generasi yang fasih berbicara, tetapi miskin pemikiran," jelasnya.
Lebih lanjut, Nabil menanggapi adanya krisis etika intelektual di mana kader menggunakan teknologi tanpa verifikasi dan tanggung jawab ilmiah. Menurutnya, hal ini bertentangan dengan nilai amanah ilmu yang diajarkan dalam Islam.
"Mengklaim pemikiran yang tidak kita pahami atau tidak kita proses sendiri adalah bentuk pengkhianatan terhadap nilai akademis dan religius. Jika AI dijadikan alat untuk 'mempercepat prestasi' tanpa integritas, maka yang rusak bukan hanya kualitas intelektual, tetapi juga karakter kader," tambahnya.
Menutup tanggapannya, Nabil menekankan bahwa AI bukanlah musuh, melainkan cermin dari melemahnya budaya literasi di tubuh organisasi. Ia mengajak seluruh kader untuk kembali ke tradisi membaca buku dan diskusi serius guna mempertahankan jati diri sebagai insan akademis.
"AI seharusnya menjadi alat bantu berpikir, bukan pengganti berpikir. HMI harus kembali menegaskan jati dirinya: organisasi yang melahirkan insan akademis, pencipta, dan pengabdi—bukan sekadar pengguna teknologi, tetapi pengendali arah peradaban," tutup Nabil mengakhiri orasinya.
Sumber: Rilis
