![]() |
| RAMAI: Kepala Dinkes Kaltim, Jaya Mualimin, berfoto bersama peserta Diskusi Publik Nasional bertema “Menjaga Tanah dan Air untuk Kehidupan Masa Depan” - Foto Dok Istimewa |
BORNEOTREND.COM, KALTIM – Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur menyoroti persoalan degradasi tanah sebagai ancaman serius bagi upaya peningkatan kesehatan masyarakat. Kerusakan tanah akibat alih fungsi lahan dan aktivitas pemanfaatan yang tidak berkelanjutan dinilai tidak hanya berdampak pada ekosistem, tetapi juga berpengaruh langsung terhadap peningkatan risiko stunting.
Kepala Dinkes Kaltim, Jaya Mualimin, mengatakan bahwa kondisi lingkungan yang menurun akan melemahkan fondasi kesehatan masyarakat. Tanah yang tidak lagi subur atau tercemar, menurutnya, tidak mampu mendukung ketersediaan pangan bergizi maupun sanitasi yang baik.
"Jika kualitas tanah menurun, berbagai persoalan kesehatan dapat muncul mulai dari kerentanan bencana, masalah sanitasi, hingga meningkatnya risiko stunting. Tanah yang sehat adalah kunci kehidupan yang sehat," ujarnya saat menghadiri Diskusi Publik Nasional bertema “Menjaga Tanah dan Air untuk Kehidupan Masa Depan” di Samarinda.
Diskusi tersebut digelar melalui kolaborasi IKA Unpad Kaltim, Universitas Mulawarman, dan Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) Kaltim-Kaltara. Dalam kesempatan itu, Jaya menekankan pentingnya memahami relasi erat antara tanah dan air. Tanah, kata dia, merupakan filter alami yang menjaga kualitas air. Ketika struktur tanah rusak, kemampuan menyaring air ikut hilang dan berdampak pada memburuknya sanitasi lingkungan.
Ia juga mengutip data FAO yang menyebutkan bahwa lebih dari 95 persen pangan manusia bersumber dari tanah. Artinya, keberlanjutan unsur hara dalam tanah sangat menentukan kualitas gizi masyarakat, termasuk dalam mencegah stunting. Erosi dan pencemaran tanah dapat memicu rawannya ketahanan pangan suatu daerah.
Momentum Hari Tanah Sedunia pada 5 Desember, lanjut Jaya, perlu dijadikan pengingat kolektif mengenai pentingnya melindungi ekosistem tanah dari kerusakan. Ia mendorong agar pemerintah, akademisi, dunia usaha, dan masyarakat bergerak bersama merumuskan kebijakan tata kelola lahan yang lebih ramah lingkungan.
“Jika kita abai, kerusakan lahan akan menjadi beban ekologis jangka panjang. Dampaknya bisa berupa banjir, kekeringan, hingga krisis kesehatan publik yang sulit dikendalikan,” tegasnya.
Penulis: Agustina/ADV/Diskominfo Kaltim
