![]() |
| ILUSTRASI: Cartoon mitigasi bencana dan waspada hoaks kebencanaan di Indonesia - Foto Dok Nett |
BORNEOTREND.COM, JAKARTA - Bencana alam masih menjadi ancaman serius bagi Indonesia, negara yang berada di kawasan cincin api Pasifik dan rawan terhadap gempa bumi, letusan gunung api, banjir, hingga tanah longsor. Dalam situasi darurat, kecepatan informasi menjadi faktor penentu keselamatan. Namun, derasnya arus informasi di era digital juga menghadirkan risiko baru: hoaks dan informasi yang keliru kebencanaan yang berpotensi menimbulkan kepanikan dan keputusan keliru di tengah masyarakat.
Mitigasi bencana tidak hanya mencakup pembangunan infrastruktur fisik seperti tanggul, jalur evakuasi, dan sistem peringatan dini, tetapi juga upaya menyeluruh untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam memahami risiko, bersikap waspada, serta mengambil tindakan yang tepat pada tahap prabencana, saat bencana, dan pascabencana, termasuk mitigasi nonstruktural melalui edukasi publik, literasi kebencanaan, dan literasi informasi.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) secara konsisten mengingatkan masyarakat untuk berhati-hati terhadap informasi bencana yang tidak dapat diverifikasi. Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, menegaskan bahwa masyarakat perlu mencermati sumber informasi, terutama dalam situasi darurat.
Salah satu contoh nyata hoaks kebencanaan terjadi di sekitar Gunung Lewotobi Laki-laki, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), pada awal Januari 2024. Dalam sebuah acara Disaster Briefing yang digelar secara daring di Jakarta, Senin (8/1/2024), Abdul Muhari memaparkan adanya informasi palsu yang beredar di kalangan warga setempat.
Informasi tersebut mengabarkan bahwa BNPB di tingkat provinsi bersama Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memprediksi puncak letusan Gunung Lewotobi Laki-laki akan terjadi pada 7 atau 8 Januari 2024, disertai imbauan agar masyarakat segera mengungsi ke lokasi yang lebih aman.
Abdul Muhari menegaskan bahwa informasi tersebut dapat dengan mudah di identifikasi sebagai hoaks.
Ia menjelaskan bahwa otoritas yang berwenang mengeluarkan informasi terkait bencana geologi dan aktivitas gunung api adalah Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) di bawah Badan Geologi, Kementerian ESDM. Informasi resmi mengenai aktivitas gunung api dapat diakses publik melalui laman https://vsi.esdm.go.id/.
Kasus ini menunjukkan bahwa hoaks kebencanaan kerap memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat mengenai struktur kewenangan lembaga negara, sekaligus memanfaatkan situasi psikologis warga yang berada di wilayah rawan bencana.
Mitigasi bencana yang efektif membutuhkan keterlibatan semua pihak. Pemerintah dan lembaga teknis menyediakan data dan peringatan dini, sementara media berperan menyampaikan informasi secara akurat dan bertanggung jawab. Di sisi lain, masyarakat memiliki peran strategis sebagai penerima sekaligus penyebar informasi.
Dengan membiasakan diri untuk mengakses sumber resmi, memverifikasi informasi, dan tidak menyebarkan kabar yang belum jelas kebenarannya, masyarakat turut menjaga ruang informasi tetap sehat, terutama di masa krisis. Upaya ini menjadi bagian penting dari pembangunan ketangguhan sosial, agar dampak bencana tidak diperparah oleh kesalahan informasi.
Pada akhirnya, mitigasi bencana bukan semata persoalan alam, melainkan juga persoalan manusia dalam mengelola pengetahuan, informasi, dan respons kolektif. Ketangguhan akan terbentuk ketika kesiapsiagaan fisik berjalan seiring dengan kecerdasan informasi.
