![]() |
Patriark Latin dan pemimpin Ortodoks ke Gaza – Foto AFP/Omar Al-Qattaa |
BORNEOTREND.COM, JAKARTA - Gereja yang selama ini menjadi tempat perlindungan warga sipil di Gaza turut menjadi sasaran serangan Israel. Serangan terbaru terhadap Gereja Keluarga Kudus, satu-satunya gereja Katolik di wilayah itu, menewaskan dua orang dan memicu kecaman internasional, termasuk dari pemerintah Indonesia.
Keluarga muda Ibrahim Jahsan yang berlindung yang di Gereja Saint Porphyrius di Jalur Gaza, tak habis pikir dengan sikap kejam Israel.
Sebagai salah satu dari 1.000 umat Kristen di Gaza, Jahsan awalnya tidak pernah ragu bahwa gereja adalah tempat yang aman baginya, istrinya yang sedang hamil, dan dua anaknya yang berusia lima dan enam tahun.
Namun gereja Ortodoks Yunani, gereja tertua di kota itu, tak lepas dari hantaman rudal Israel pada Oktober 2023 silam.
Gereja tersebut tengah menampung ratusan orang ketika bom Israel dijatuhkan dan merusak parah salah satu dari empat bangunan di kompleksnya pada Kamis malam 20 Oktober itu.
Langit-langit gereja runtuh dan puluhan orang terperangkap di bawah lempengan beton. Menurut laporan Al Jazeera, Patriarkat Ortodoks Yerusalem mengatakan setidaknya 18 orang dipastikan tewas, termasuk beberapa anak-anak.
Jahsan mengatakan semua anak-anak mengalami trauma dan tak ada kata yang bisa menggambarkan apa yang mereka alami. Meskipun mengerikan, ia bersumpah akan tetap berlindung di gereja bersama keluarganya.
"Kami dibaptis di sini, dan kami akan mati di sini," ujarnya.
Dan yang terbaru, Gereja Keluarga Kudus, satu-satunya gereja Katolik di Gaza juga dibom Israel kamis pagi (18/7) menyebabkan dua orang tewas. Gereja itu selama ini melindungi umat Kristen dan Muslim, termasuk sejumlah anak-anak penyandang disabilitas.
Serangan ke gereja ini telah menimbulkan kecaman dari para pemimpin dunia termasuk Indonesia.
"Indonesia mengutuk serangan terhadap Gereja Keluarga Kudus di Gaza, satu-satunya Gereja Katolik di Gaza, yang menimbulkan korban jiwa rakyat sipil yang tidak bersalah," demikian rilis resmi Kemlu pada hari ini, Jumat (18/7).
Rumah Kristen Tertua di Dunia
Umat Kristen yang menetap di Palestina dan wilayah pendudukan Israel disebut umat Kristen tertua di dunia.
Mereka sudah mendiami wilayah tersebut sejak kekristenan lahir di awal abad masehi. Mereka hadir di sana jauh sebelum Islam hadir yang kini jadi warga mayoritas.
Situs Palestina Portal menuliskan, umat Kristen Palestina sering disebut "batu hidup" kekristenan karena mereka dapat menelusuri sejarah mereka hingga ke kelahiran Gereja di tanah ini 2.000 tahun lalu.
"Oleh karena itu, mereka harus dipahami sebagai penduduk asli Tanah Suci, bukan imigran atau orang yang baru saja pindah agama. Faktanya, mereka adalah populasi Kristen tertua di dunia," tulis Palestina Portal.
Tidak mengherankan sebab Yesus Kristus sendiri lahir di Betlehem, yang barada di bawah otoritas Palestina. Tepatna 10 kilometer dari Yerusalem.
"Dalam Perjanjian Lama, Kota Betlehem disebut sebagai kota kelahiran Raja Daud dan tempat dia dinobatkan sebagai Raja Israel. Betlehem adalah tempat Kitab Rut ditetapkan. Kota Bethlehem juga tempat Rachel melahirkan Benjamin dan meninggal (Kej 48:7). Hari ini makam Rachel berdiri di dekat pintu masuk kota. Di Perjanjian Baru Betlehem disebut sebagai tempat kelahiran Yesus," demikian situs nazarettour.co.id menuliskan.
Saat ini umat Kristen ini mengidentifikasi diri dengan kuat sebagai orang Palestina dengan budaya dan sejarah yang sama dengan saudara-saudari Muslim mereka.
Di negeri ini, umat Kristen dan Muslim telah hidup berdampingan secara damai selama beberapa generasi. Namun kini mereka menderita bersama di bawah pendudukan brutal Israel dan segala konsekuensinya: pos pemeriksaan, pembatasan perjalanan, penyitaan tanah, penghancuran rumah, pelecehan anak, pemukulan, pembunuhan, dan banyak lagi.
Berdirinya negara Israel pada 1948 membuat umat Kristen di Palestina mulai mengalami intimidasi dan pengusiran.
Catatan sejarah menuliskan, pada tahun 1948 yang sering disebut Nakba (bencana) menyebabkan pengusiran massal dan pelarian sekitar 750.000 orang Palestina dari rumah dan tanah mereka.
Padahal pada tahun 1946, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mensurvei Kristen Palestina mencapai 145.000 atau sekitar 12 persen dari penduduk Arab Palestina.
Pendudukan Israel di Palestina pada 1948 menyebabkab konflik berkepanjangan hingga orang Kristen Palestina mengungsi ke Jordania, Lebanon, dan Suriah.
Menurut data Badan Statistik Palestina tahun 2020, populasi umat Kristen turun menjadi 8 persen dan terakhir diperkirakan tinggal 6 persen. Sumber statistik resmi Israel menunjukkan bahwa total emigrasi bersih warga Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza selama periode antara tahun 1967 dan 1989 mencapai sekitar 300.000, yang berarti 13.000 per tahun.
Pergeseran penduduk Palestina itu hampir sebagian besar karena kekerasan dan invasi Israel. Setelah berdirinya negara Israel, negara zionis itu tidak mengizinkan baik umat Kristen maupun Muslim untuk kembali ke rumah mereka.
Bahkan tercatat pada tahun 1990-an, jumlah emigran Kristen dari Tepi Barat dan Gaza telah meningkat pesat. Meningkatnya emigrasi merupakan respons terhadap diskriminasi dan pelecehan di Israel, pendudukan militer yang brutal di Tepi Barat dan Gaza sejak 1967, blokade Gaza sejak 2007, dan penundaan panjang pembentukan negara Palestina yang layak dan berdaulat di mana warga Palestina, baik Kristen maupun Muslim, dapat merasa betah. Emigrasi ini khususnya terlihat di Betlehem, Yerusalem, dan Ramallah.
Menurut Laporan Kebebasan Beragama Internasional Juli-Desember 2010 dari Departemen Luar Negeri AS, para pemimpin gereja Palestina juga mengutip "kemampuan terbatas komunitas Kristen di wilayah Yerusalem untuk berkembang karena pembatasan bangunan, kesulitan dalam memperoleh visa Israel dan izin tinggal bagi pendeta Kristen, pembatasan reunifikasi keluarga pemerintah Israel, dan masalah perpajakan sebagai alasan meningkatnya emigrasi."
Di Gaza, Kekeristenan Nyaris Punah
Di antara dua juta warga Gaza hanya ada 1000 Kristen di sana. Jumlah yang sangat kecil ini, tak kalah menderita dari warga Gaza lain. Pengeboman oleh Israel terhadap gereja-gereja di Gaza menambah kekhawatiran populasi mereka di Gaza akan punah.
Michael Azar, seorang profesor teologi dan studi agama di AS, mengatakan, "Ketakutan akan terhapusnya [kekristenan di Gaza] sangatlah nyata," katanya dikutip dari situs globalchristianrelief.org.
Dan saat ini, derita keluarga-keluarga Kristen di Gaza menghadapi krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya: tidak ada rumah, makanan, atau air bersih. Oleh karena itu, jika situasi ini terus berlanjut, kata Azar, maka agama Kristen bisa punah di Gaza. Fakta yang miris.
Padahal, agama Kristen memiliki sejarah panjang di Gaza lebih dari 1.600 tahun yang lalu. Bahkan selama serangan Israel, gereja Ortodoks dan Latin di Kota Gaza telah menjadi tempat perlindungan bagi mereka yang membutuhkannya. Namun kebrutalan Israel menghancurkan semuanya.
Sumber: cnnindonesia.com