Menakar Ulang Peran Media Penyiaran di Era Digitalisasi Informasi


Ditulis Oleh : Muhammad Leoni Hermawan, S.Mat. (Masyarakat Pemerhati Siaran)


Hari Pers Sedunia, yang diperingati setiap tanggal 3 Mei, merupakan tonggak penting untuk merefleksikan nilai-nilai kebebasan pers, akses terhadap informasi, serta keberadaan jurnalisme yang bertanggung jawab di tengah masyarakat. Pers bukan sekadar industri media, tetapi pilar keempat demokrasi yang memiliki tanggung jawab sosial besar untuk menjaga keterbukaan informasi, menegakkan keadilan, dan mengawasi kekuasaan.

Di tengah perayaan tahunan ini, kita tidak hanya bicara soal jurnalis dan berita cetak, melainkan juga media penyiaran, khususnya televisi dan radio yang selama beberapa dekade menjadi garda depan penyampaian informasi kepada publik. Namun, dalam satu dekade terakhir, eksistensi media penyiaran mengalami tantangan besar. Generasi muda tidak lagi menonton TV di jam tayang utama, atau mendengarkan radio melalui perangkat konvensional. Mereka lebih memilih YouTube, TikTok, dan podcast sebagai sumber informasi dan hiburan akibat berkembangnya media digital, terutama media sosial dan platform daring berbasis algoritma.

Oleh karena itu, penting untuk menakar ulang peran dan kontribusi media penyiaran di masa sekarang: apakah masih relevan? Apakah masih dipercaya? Apa saja tantangan dan peluang yang dihadapi oleh media penyiaran di era disrupsi digital ini?

Media Penyiaran dalam Lanskap Informasi Global

Penyiaran (broadcasting) secara tradisional merupakan bentuk penyebaran informasi satu arah, dari produsen konten kepada publik melalui frekuensi radio atau siaran televisi. Keunggulannya adalah jangkauan yang luas, efisiensi penyebaran informasi, dan keterikatan regulasi yang memastikan akurasi dan tanggung jawab konten.

Televisi dan radio pernah menjadi raja dalam industri informasi dan hiburan. Di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, media penyiaran merupakan media utama yang menjangkau hingga pelosok desa, menghubungkan warga dengan dunia luar, serta menjadi instrumen pendidikan non-formal dan penyambung suara pemerintah dengan rakyatnya.

Namun, masuknya internet dan lahirnya platform media sosial seperti YouTube, Instagram, TikTok, dan podcast, mengubah pola konsumsi informasi publik secara drastis. Informasi kini lebih cepat, lebih interaktif, dan sering kali lebih personal. Penonton tidak lagi pasif, melainkan aktif memilih konten yang ingin mereka nikmati, bahkan menjadi produsen konten itu sendiri.

Tantangan Media Penyiaran di Era Digital

1. Perubahan Pola Konsumsi Audiens

Generasi muda hari ini tidak lagi menonton TV pada jam tayang utama atau mendengarkan radio dari alat konvensional. Mereka lebih sering menonton video pendek di ponsel, mendengarkan podcast saat bepergian, atau membaca ringkasan berita dari aplikasi media sosial. Hal ini membuat media penyiaran harus bersaing keras dengan konten-konten viral yang tidak selalu berkualitas, namun sangat menarik secara visual dan emosional.

2. Penurunan Kepercayaan terhadap Media Arus Utama

Fenomena distrust atau ketidakpercayaan publik terhadap media arus utama juga menyentuh media penyiaran. Dianggap terlalu dekat dengan kekuasaan, bias dalam peliputan, atau terlalu terikat pada kepentingan komersial, banyak masyarakat yang beralih pada sumber alternatif yang dianggap lebih independen. Sayangnya, sumber-sumber ini sering kali tidak memiliki standar jurnalistik yang memadai, sehingga membuka ruang bagi hoaks, disinformasi, dan propaganda.

3. Kompetisi dengan Platform Digital dan Streaming

Platform seperti Netflix, YouTube, Spotify, bahkan media sosial seperti Facebook Live atau TikTok Live telah merebut ruang eksistensi yang sebelumnya dimiliki eksklusif oleh penyiaran. Penonton bisa menonton apa pun, kapan pun, di mana pun, tanpa harus mengikuti jadwal yang ditentukan oleh stasiun TV atau radio. Ini mengubah struktur bisnis dan strategi operasional media penyiaran secara signifikan.

4. Keterbatasan Regulasi dan Adaptasi Teknologi

Media penyiaran konvensional diatur secara ketat oleh undang-undang penyiaran dan lembaga pengawas seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Namun, hal ini tidak berlaku pada media digital yang lepas dari pengawasan lokal. Akibatnya, televisi dan radio harus bermain di lapangan yang tidak setara—mereka dibatasi, sementara pemain digital bebas berkreasi dan tumbuh tanpa banyak regulasi.

5. Tekanan Monetisasi dan Komersialisasi

Penyiaran harus tetap berjalan sebagai industri yang mencari keuntungan. Namun, penurunan iklan akibat peralihan ke media digital memaksa banyak media penyiaran untuk memilih antara kualitas jurnalistik atau popularitas. Banyak program berita menjadi sensasional, infotainment bertebaran, dan konten hiburan mendominasi, meninggalkan idealisme awal tentang fungsi edukatif dan informatif dari media penyiaran.

Peluang dan Adaptasi Media Penyiaran

Di balik tantangan tersebut, bukan berarti media penyiaran kehilangan harapan. Justru, Hari Pers Sedunia bisa menjadi momen penting untuk merumuskan kembali nilai dan kekuatan media penyiaran. Beberapa peluang yang bisa dimaksimalkan antara lain:

1. Kredibilitas sebagai Modal Utama

Di tengah banjir informasi palsu, media penyiaran bisa menegaskan kembali posisinya sebagai sumber informasi terpercaya. Dengan standar jurnalistik yang ketat, sumber yang jelas, dan proses verifikasi yang profesional, televisi dan radio masih bisa menjadi penyeimbang informasi dan benteng terakhir melawan hoaks.

2. Transformasi ke Platform Digital

Media penyiaran tidak harus meninggalkan bentuk lama, tapi bisa memperluas jangkauannya melalui digital. Banyak stasiun TV dan radio kini telah memiliki kanal YouTube, siaran langsung di media sosial, hingga podcast yang dikemas ulang dari siaran radio. Ini adalah langkah tepat untuk menjangkau generasi baru tanpa kehilangan karakteristik jurnalistik mereka.

3. Sinergi Lintas Media dan Multi-Platform

Penyiaran masa depan bukan soal siaran tunggal, tapi sinergi multi-platform. Satu berita bisa tayang di TV, diunggah di YouTube, dibahas dalam podcast, dan dibagikan ulang dalam format Reels atau TikTok. Dengan narasi yang konsisten dan visual yang menarik, media penyiaran dapat tetap relevan dalam segala bentuk kanal distribusi.

4. Penguatan Konten Lokal dan Human Interest

Televisi dan radio lokal masih sangat kuat dalam menyentuh komunitas-komunitas kecil. Dengan memproduksi konten yang dekat dengan kehidupan masyarakat, mengangkat budaya lokal, kisah inspiratif, dan isu-isu publik, media penyiaran bisa memperkuat identitas mereka yang tidak bisa digantikan oleh konten global.

5. Kolaborasi dengan Komunitas dan Influencer

Media penyiaran bisa membangun sinergi dengan para konten kreator, jurnalis warga, dan komunitas kreatif untuk menciptakan konten-konten kolaboratif yang tidak hanya informatif, tapi juga komunikatif dan mudah dicerna. Ini akan menjembatani kesenjangan antara institusi penyiaran dengan publik yang makin kritis dan partisipatif.

Kesimpulan: Peran Penyiaran Masih Vital, Asal Mau Berbenah

Hari Pers Sedunia bukan hanya tentang merayakan sejarah dan perjuangan insan pers, tetapi juga tentang masa depan industri media itu sendiri. Media penyiaran—televisi dan radio—memang menghadapi tantangan besar di era digital, namun bukan berarti peran mereka usang atau harus ditinggalkan.

Sebaliknya, di tengah era post-truth, banjir informasi, dan disrupsi algoritma, keberadaan media penyiaran yang kredibel dan bertanggung jawab sangat dibutuhkan sebagai jangkar informasi yang menenangkan dan mencerdaskan publik. Tetapi agar tetap relevan, media penyiaran harus membuka diri terhadap perubahan, membenahi model bisnis, memperkuat kualitas konten, dan menjalin hubungan yang lebih setara dan dialogis dengan audiensnya.

Penyiaran harus tidak hanya menjadi media informasi, tapi juga ruang edukasi, advokasi, dan inspirasi. Dengan demikian, nilai-nilai kebebasan pers, keadilan informasi, dan kemerdekaan berekspresi akan terus hidup dalam wajah baru media yang adaptif, inklusif, dan tetap setia pada prinsip jurnalistik sejati.****

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال