Perkembangan dan pembangunan peradaban selalu dimulai dengan kelahiran para tokoh yang memiliki kesempatan untuk mendayagunakan pemikirannya. Sebab, peradaban hanya dapat dibangun jika ada ruang untuk kebebasan berpikir yang nantinya akan memunculkan konsep dan teori ilmu pengetahuan baru. Penguasa suatu negara yang memberi ruang kebebasan berpikir secara lebih luas kepada warganya akan memacu pertumbuhan peradaban menjadi kian cepat. Sebaliknya, penguasa negara yang membatasi kebebasan berpikir warganya akan berdampak terhadap melambatnya proses kemajuan bangsa yang bersangkutan.
Berdasarkan catatan sejarah dapat diketahui bahwa penguasa suatu negara dapat saja menghalangi atau bahkan memenjarakan secara fisik orang-orang yang berpikiran kritis dengan alasan dapat mengganggu penyelenggaraan pemerintahan. Akan tetapi tidak ada suatu kekuatan pun yang dapat membelenggu kebebasan berpikir seseorang. Oleh karena itulah Kebebasan berpikir dan berpendapat merupakan bagian dari hak fundamental yang dimiliki oleh setiap orang, sehingga ia tidak boleh dikurangi atau dikebiri. Negara memiliki kewajiban untuk menjaga dan menghormati hak fundamental dimaksud, sehingga negara yang mengabaikannya dianggap sebagai tindakan pelanggaran HAM warga.
Perkembangan di lapangan menunjukkan bahwa penguasa suatu negara sering mensiasati tindakannya dengan melakukan penyamaran sehingga seperti tidak ada pelanggaran terhadap hak fundamental warga. Penyamaran itu sering diistilahkan dengan tindakan “kriminalisasi” terhadap orang-orang yang kritis dalam menggunakan kebebasan berpikirnya, dengan cara mengangkat kasus lain yang terkadang “aneh” dalam pandangan hukum. Selama ini persepsi dan wawasan tentang makna hukum lebih didominasi oleh aliran “legalistik” yang di beberapa negara lain sudah mulai ditinggalkan. Aliran legalistik adalah aliran hukum yang sempat dianut banyak negara di abad ke-19 dan abad ke-20. Akan tetapi memasuki abad ke-21 aliran legalistik sudah mulai ditinggalkan karena dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan dinamika masyarakat.
Aliran legalistik adalah pandangan yang melihat hukum semata-mata sebagai norma yang tertulis dalam “Pasal-pasal” suatu Undang-Undang. Mereka melupakan bahwa dalam norma tertulis itu ada nilai-nilai filosofi, etika, serta kepatutan. Aspek filosofis adalah mencoba melihat suasana kebathinan suatu norma, atau dalam terminologi agama disebut “asbabun nuzul”. Sementara etika dan kepatutan adalah melihat norma tersebut dalam perspektif sosial dan budaya masyarakat.
Mengapa masyarakat “gerah” melihat kasus seorang nenek tua yang dituduh mencuri beberapa biji buah kakao harus berhadapan dengan pengadilan sebagaimana pernah terjadi dalam catatan kelam hukum kita. Secara normatif kasus dimaksud jelas terbukti secara sah dan meyakinkan karena telah memenuhi semua unsur pasal pencurian, ujar Jaksa percaya diri.
Kegerahan itu timbul karena nenek tua itu hidup dalam kemiskinan di lingkungan suatu perusahaan besar. Nilai etika dan kepatutan mengajarkan bahwa mereka yang hidup dan berada di lingkungan sebuah perusahan besar adalah orang-orang yang memiliki prioritas untuk mendapatkan kelayakan hidup. Oleh karena itu hukum mengatur kewajiban perusahaan untuk menyediakan dana sosial bagi masyarakat yang hidup di sekitarnya.
Sejarah Islam mencatat bagaimana khalifah Umar bin Khattab membebaskan seorang pencuri karena ia dan keluarganya sedang kelaparan. Bahkan, dengan suara keras Khalifah menyatakan bahwa; orang-orang yang memiliki kelebihan harta itulah yang layak dihukum karena membiarkan tetangganya menderita kelaparan sehingga nekad melakukan pencurian.
Itulah aspek filosofis yang berada di balik norma hukum yang tertuang dalam pasal-pasal UU, dan aspek filosofis itulah yang sekarang jarang diangkat dalam penerapan hukum positif di tempat kita. Orang-orang kaya menuntut dengan pongah agar hak-haknya mendapat perlindungan hukum, sementara mereka dibiarkan tidak melakukan kewajiban sosialnya. Substansi keadilan hukum adalah menjaga keseimbangan pelaksanaan hak dan kewajiban setiap orang, dan negara harus menjaga keseimbangan itu dalam interaksi sosial masyarakat.
Taat hukum adalah konsep untuk menjaga keseimbangan dan oleh karenanya ia harus diberlakukan kepada semua elemen yang terkait di dalamnya. Hukum akan menjadi perangkat penting dalam membangun peradaban atau setidaknya membangun “keadaban dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat”. Namun demikian hukum akan gagal melakukan fungsinya tersebut jika taat hukum hanya dibebankan kepada rakyat semata.
Tags
Opini