Pembagian Dapil Pemilu 2024 yang Bikin Ngilu KPU

 

Desmon J Mahesa 
Wakil Ketua Komisi III DPR RI
(Foto: dok)


BORNEOTREND.COM - Tanggal 7 Februari 2023 yang lalu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI telah menerbitkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang daerah pemilihan (Dapil) dan alokasi kursi anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten Kota.

Terbitnya PKPU tersebut merupakan tindaklanjut dari adanya Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Sebagaimana diketahui melalui putusan nomor 80/PUU-XX/2022, MK memutuskan untuk memberi KPU kewenangan menata ulang dapil DPR RI dan DPRD provinsi, dari yang semula merupakan kewenangan DPR lewat Lampiran III dan IV Undang Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.

Dalam keputusannya, MK menyatakan Lampiran III dan IV itu inkonstitusional karena dinilai tidak sesuai dengan prinsip penataan dapil yang baik serta kontradiktif dengan ketentuan penyusunan dapil alias tidak sesuai dengan ketentuan yang seharusnya. Sehingga MK memerintahkan KPU untuk penataan ulang dapil untuk Pemilu 2024 dan pemilu seterusnya melalui Peraturan KPU.

Mengapa penataan Dapil yang ada sekarang ini (sebagaimana terdapat di lampiran III dan IV UU Pemilu No. 7/2017), dinilai MK tidak sesuai dengan prinsip prinsip pembentukan Dapil sehingga harus ditata ulang keberadaannya?

Mengapa pula KPU dinilai tidak menjalankan secara substansial perintah MK agar menata ulang Dapil yang sekarang sudah menjadi kewenangannya? Lalu apa konsekuensinya yang mungkin terjadi pada pemilu 2024 nantinya?

Prinsip Pembentukan Dapil

Daerah Pemilihan atau Dapil merupakan salah satu dari tiga komponen utama dari sistem pemilu selain dari elektoral formula dan metode pemberian suara (Douglas W Rae, 1967). Untuk itulah terdapat prinsip-prinsip yang harus dipenuhi dalam membentuk dapil.

Menurut Thomas L Brunell (2008) menyebutkan prinsip pembentukan Dapil tersebut adalah; (1) dapil haruslah daerah yang saling berdampingan (contiguous); (2) kesetaraan nilai penduduk atau populasi sehingga harga kursi untuk setiap dapil setara dengan dapil lainnya; (3) memperhatikan kepentingan komunitas, dalam hal ini dapil harus memperhatikan kesamaan kondisi sosial warga di dapil; (4) memperhatikan pembagian-pembagian administrasi dan politik; (5) dapil haruslah padat (compact).

Sejalan dengan itu, Pasal 185 UU 7/2017 juga mengatur 7 prinsip penyusunan dapil. Ketujuh prinsip ini menjadi hal yang kumulatif yang mesti dipenuhi dalam menyusun dapil dan alokasi kursi. Ketujuh prinsip tersebut adalah; (1) kesetaraan nilai suara; (2) ketaatan pada sistem peimlu yang proporsional; (3) proporsionalitas; (4) integralitas wilayah; (5) berada dalam cakupan wilayah yang sama; (6) kohesivitas; dan (7) kesinambungan.

Meskipun sudah ada ketentuan yang mengaturnya, tetapi nyatanya pembentukan Dapil Pemilu yang dilakukan selama ini dinilai belum mampu memastikan bahwa penyusunan dapil dan alokasi kursi untuk Pemilu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota telah memenuhi prinsip-prinsip yang telah diatur dalam ketentuan tersebut.

Disinyalir terdapat pertentangan antara prinsip penyusunan dapil dengan lampiran Dapil yang ada di dalam UU 7/2017. Mengutip pernyataan Khoirunnisa Nur Agustiyati dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), pertentangan itu paling tidak bisa dilihat pada pada lima prinsip utama yakni; kesetaraan nilai suara, ketataatan pada sistem pemilu yang proporsional, proporsionalitas, integralitas wilayah, dan berada dalam cakupan wilayah yang sama.

Misalnya, terdapat beberapa wilayah yang dipaksakan digabung dalam satu dapil tanpa memperhatikan latar belakang sosiologis wilayah itu yang berbeda, seperti Dapil Jawa Barat III yang menggabungkan Kota Bogor dengan Kabupaten Cianjur, kendati karakteristik kedua wilayah berlainan dan disekat oleh wilayah Kabupaten Bogor.

Di samping itu, terdapat dapil yang bermasalah dari segi keberimbangan/proporsionalitas jumlah penduduk dengan alokasi kursi parlemen. Provinsi Aceh, Sumatera Barat, Jambi, Lampung Jawa Timur, NTT, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, dan Papua dinilai kelebihan alokasi kursi (over-represented) berdasarkan data sensus penduduk 2020.

Hasil Pemilu DPR 2019 pun membuktikan bahwa desain dapil yang digunakan masih menyisakan ketidaksetaraan harga kursi. Dapil Jawa Timur XI, misalnya, butuh 212.081 suara untuk memenangkan 1 kursi di DPR RI. Sementara itu, di Kalimantan Utara, 1 kursi Senayan sudah bisa dimenangkan dengan 37.616 suara saja.

Karena adanya dugaan munculnya pertentangan tersebut pada akhirnya Perludem mengajukan gugatan ke MK untuk menguji UU No. 7/2017 khususnya Pasal 185. Berdasarkan argumentasi-argumentasi yang disampaikan oleh Perludem tersebut, MK sesuai Putusan MK 80/2022, menimbang sejumlah pertimbangan hukum dalam memutus permohonannya.

Pertama, MK menegaskan kembali terkait dengan “prinsip” pembentukan dapil seperti yang tercantum dalam Pasal 185 UU 7/2017. Bahwa adanya tujuh prinsip penyusunan dapil dimaksudkan untuk memperkuat asas-asas pemilu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Sehingga prinsip ini harus diterapkan dalam menyusun dapil mulai dari dapil DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Kedua, MK menegaskan kembali bahwa rangkaian kontestasi pemilu harus tunduk pada tahapan pemilu seperti yang tercantum dalam Pasal 164 ayat (4). Penetapan kursi dan penyusunan dapil harus lah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam tahapan pemilu. Sehingga seharusnya tidak dibedakan antara penyusunan dapil untuk DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Kesemua tahapan penyusunan dapil ini seharusnya menjadi bagian tahapan pemilu yang merupakan kewenangan dari KPU. Sehingga jika dapil untuk DPR dan DRPD provinsi menjadi lampiran undang-undang, artinya adanya pengambilalihan kewenangan KPU secara signifikan.

Ketiga, MK menegaskan mengenai kepastian hukum dalam penyusunan dapil. Pasal 28 ayat (1) UUD 1945 mencakup kejelasan pengaturan yang tidak multitafsir, tidak bertentangan, dan juga mampu menjamin tidak adanya konflik kepentingan. Penyusunan dapil DPR dan DPRD Provinsi yang sudah menjadi bagian dari lampiran undang-undang pemilu menunjukan adanya potensi konflik kepentingan karena dapil yang merupakan arena kompetisi dalam pemilu disusun oleh pihak yang akan berkompetisi, yaitu partai politik.

Keempat, perkembangan penetapan kursi dan dapil. Sejak Pemilu 1999-2004 penetapan alokasi kursi dan penyusunan dapil dilakukan sepenuhnya oleh KPU. Sejak Pemilu 2009-2014, kewenangan KPU dalam menyusun alokasi kursi dan dapil berkurang menjadi hanya untuk Pemilu DPRD Provinsi dan Pemilu DPRD Kabupaten/Kota saja.

Bahkan, di Pemilu 2019 KPU hanya diberikan kewenangan untuk menata kursi dan dapil untuk Pemilu DPRD Kabupaten/Kota saja. Sejak Pemilu 2009 ketika alokasi kursi dan dapil menjadi lampiran undang-undang pemilu, belum pernah dilakukan evaluasi kecuali jika ada pemekaran yang diiringi dengan penambahan jumlah kursi dan dapil.

Kelima, lampiran dapil dalam UU 7/2017 tidak sejalan dengan prinsip pembentukan dapil yang dicantumkan dalam Pasal 185. Hal ini karena telah terjadi ketimpangan harga suara yang signifikan antardapil, disproporsionalitas, dan terdapat dapil yang tidak integral.

Keenam, jumlah penduduk dan eksistensi daerah otonom menjadi faktor yang menentukan dapil. Beasaran alokasi kursi dan dapil sangat ditentukan oleh jumlah penduduk dan wilayah. Jumlah penduduk bersifat dinamis, sehingga pencantuman dapil dalam lampiran undang-undang pemilu akan menimbulkan ketidakpastian, karena bisa jadi suatu daerah mengalami pertambahan atau pengurangan jumlah penduduk yang dapat mempengaruhi peta dapil.

Ketujuh, penetapan dapil merupakan kewenangan KPU. Penyusunan dapil merupakan salah satu dari tahapan pemilu. Oleh sebab itu, sama halnya dengan tahapan pemilu yang lain, penetapan dapil juga harus menjadi kewenangan KPU dan penetapannya tertuang dalam Peraturan KPU (PKPU).

Kedelapan, putusan dalam perkara 80/PUU-XX/2022 ini mulai dilaksanakan untuk Pemilu 2024 dan selanjutnya. Tahapan penyusunan dapil dimulai sejak 14 Oktober 2022 sampai dengan 9 Februari 2023.

Jika kita membaca putusan MK tersebut, menjadi jelas kiranya bahwa perlu dilakukan penataan Dapil. Sehingga sudah seharusnya KPU menata kembali alokasi kursi dan dapil karena MK sudah mengembalikan kewenangan KPU yang sebelumnya diambil oleh pembentuk undang-undang.

Putusan MK ini juga menjadi momentum evaluasi atas berbagai permasalahan dalam alokasi kursi dan penyusunan dapil yang terus berulang. Putusan MK ini juga membuka ruang partisipasi publik untuk dapat memberikan masukan atas alokasi kursi dan dapil yang selama ini tidak dilakukan karena dapil untuk DPR dan DPRD Provinsi sudah menjadi lampiran UU Pemilu.

KPU “Mbalelo ?”

Merespons putusan MK, KPU RI sempat melibatkan tim pakar untuk melakukan simulasi desain dapil DPR RI dan DPRD provinsi yang lebih baik pada 2024. Namun, dalam Rapat Kerja Komisi II DPR RI, Rabu (11/1/2023), KPU RI di luar dugaan menyepakati kesimpulan sepihak dari Senayan bahwa dapil 2024 tidak akan berubah dari dapil 2019.

Kesepakatan rapat itu akhirnya ditindaklanjuti dengan terbitnya PKPU Nomor 6 Tahun 2023 yang mengatur soal dapil Pemilu 2024 dimana ternyata tak mengubah komposisi dan alokasi kursi DPR RI dan DPRD provinsi, kecuali menambah dapil untuk empat provinsi baru di Pulau Papua.

Dengan demikian, Keputusan KPU untuk tidak mengubah komposisi Dapil ini nampaknya sejalan dengan hasil rapat di Komisi 2 pada 11 Januari 2023. Seperti diketahui melalui forum Rapat Kerja bersama Komisi II DPR RI, KPU setuju tak mengganggu gugat ketentuan dapil di Lampiran III dan IV UU Pemilu. Padahal, KPU berwenang melakukannya berbekal putusan MK. Bahkan, telah mengajak sejumlah ahli terkait penataan ulang dapil dan alokasi kursi.

Dalam kaitan ini, Koordinator Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu KPU RI, Idham Holik, berdalih bahwa tidak berubahnya komposisi dan alokasi kursi dapil DPRD provinsi dan DPR RI untuk Pemilu 2024 tak terlepas dari pertimbangan hukum dalam putusan MK, tepatnya pertimbangan hukum nomor 3.15.4.

Menurutnya, MK hanya memerintahkan KPU untuk mengeluarkan ketentuan dapil dan alokasi kursi dari UU Pemilu ke PKPU. "Khususnya pada kalimat yang terdapat dalam baris ke-6 sampai ke-8 yang berbunyi: `Langkah yang mesti dilakukan adalah mengeluarkan rincian pembagian daerah pemilihan dan alokasi kursi dari lampiran UU 7/2017 dan menyerahkan penetapannya kepada KPU melalui Peraturan KPU`," ujar Idham seperti dikutip Kompas.com, Senin (6/2/2023).

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Junimart Girsang menganggap putusan MK tidak memberi perintah bagi KPU RI menata dapil DPR RI dan DPRD provinsi. "Saya sudah bolak-balik membaca putusan nomor 80. Itu tidak ada perintah supaya KPU melakukan penataan dapil. Yang diberikan kewenangan, Pak, bukan perintah. Putusan MK 80 itu tidak memerintahkan. Coba dibaca, Pak," kata politikus PDI-P itu dalam forum yang sama. "Tidak setiap keputusan harus dilakukan. Bisa dilakukan, bisa tidak, kecuali diperintahkan," ia menambahkan.

Junimart juga mengungkit bahwa anggaran KPU RI untuk tahun 2023 tidak disetujui sebanyak usulan. Ia meminta penyelenggara pemilu "tidak menambah kerja-kerja baru" karena anggaran dinilai tidak cukup untuk itu.

Kalangan unsur partai di Senayan rata rata memang menginginkan pembagian Dapil sesuai peta lama yang sudah ada sejak pemilu tahun 2009 . Karena partai partai yang lama pada umumnya sudah mempunyai pemetaan mengenai potensi suara dan perkiraan kursi yang bakal didapat di Dapil yang lama. Mereka juga sudah pula mempunyai strategi bagaimana memperoleh suara di Dapilnya termasuk mau menempatkan orang di Dapil yang mana.

Adanya perubahan Dapil dikhawatirkan akan merubah potensi suara yang sudah mereka petakan sejak lama termasuk akan merubah strategi pemenangannya. Perubahan Dapil akan menyebabkan mereka harus beradaptasi lagi apalagi kalau berubahnya signifikan, sehingga apa yang telah mereka investasikan sejak lama harus diatur ulang disesuaikan dengan Dapil yang sekarang ada. Semua ini tentunya akan mempunyai konsekuensi terhadap penyerapan sumberdaya bukan hanya sumberdaya manusia tapi juga sumber dana.

Fenomena tersebut dianggap menjadi sebab partai-partai politik kompak satu suara menentang rencana KPU RI untuk menata ulang komposisi serta alokasi kursi dapil DPR RI dan DPRD provinsi, sekalipun itu merupakan amanat Mahkamah Konstitusi lewat putusan nomor 80/PUU-XX/2022.

Apa yang dilakukan oleh jajaran partai politik ini dinilai sebagai bentuk intervensi Parlemen terhadap KPU sebagai penyelenggara Pemilu. KPU dinilai tengah mempertaruhkan independensi dan profesionalismenya menghadapi kekuatan partai politik DPR RI yang kompak menolak perubahan daerah pemilihan (dapil) legislatif DPR dan DPRD provinsi. Padahal, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 80/PUU-XX/2022 telah membatalkan Lampiran III dan IV UU Pemilu bikinan Dewan yang selama ini mengunci dapil tingkat DPR dan DPRD provinsi.

Fenomena tersebut telah memancing hakim konstitusi, Saldi Isra untuk angkat suara. Saldi mengingatkan DPR RI untuk mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi pada perkara nomor 80/PUU-XX/2022 tentang daerah pemilihan (dapil). "Kami ingatkan DPR bahwa tentang dapil sudah ada putusan MK, tolong direnungkan," ujar Saldi dalam sidang pleno terkait uji materi sistem pemilu proporsional terbuka yang menghadirkan DPR RI dam KPU, Kamis (26/1/2023)

Pada akhirnya, penentuan dapil memang tetap ada pada KPU, dan kesimpulan Rapat Kerja di Komisi 2 tanggal 11 Januari 2023 itu meskipun tidak bersifat mengikat tetapi terasa sangat besar tekanan politiknya. Dalam posisi yang sukar bergerak, KPU akhirnya mencari jalan pintas untuk menjelaskan kepada publik mengapa mereka rela kewenangan menata ulang dapil dibajak oleh partai politik secara tidak langsung.

Jalan pintas itu dilakukan dengan cara tebang pilih yaitu ndengan dalih bahwa tak ditata ulangnya dapil DPR RI dan DPRD provinsi merupakan bagian dari prinsip penyusunan dapil yang baik, yaitu berkesinambungan. Pernyataan ini diungkapkan Koordinator Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu KPU RI Idham Holik.

Idham tidak berdusta. Sebab, berkesinambungan memang menjadi salah satu prinsip penyusunan dapil. Namun, di luar itu, ada 6 prinsip lain yang tidak dibicarakan Idham, yaitu prinsip kesetaraan nilai suara, ketaatan pada sistem pemilu yang proporsional, proporsionalitas, integralitas wilayah, berada dalam cakupan wilayah yang sama, dan kohesivitas.

Enam prinsip ini jelas tidak dipenuhi karena dapil-dapil bermasalah di Lampiran III dan IV UU Pemilu justru dipertahankan dalam PKPU Nomor 6 Tahun 2023. KPU lalu tebang pilih lagi bahwa dipertahankannya dapil-dapil itu tak terlepas dari pertimbangan hukum dalam putusan MK nomor 80/PUU-XX/2022 tadi, tepatnya pertimbangan hukum nomor 3.15.4. "Khususnya pada kalimat yang terdapat dalam baris ke-6 sampai ke-8 yang berbunyi:

"Langkah yang mesti dilakukan adalah mengeluarkan rincian pembagian daerah pemilihan dan alokasi kursi dari lampiran UU 7/2017 dan menyerahkan penetapannya kepada KPU melalui Peraturan KPU," ujar Idham, Senin (6/2/2023).

Konsekuensi di Pemilu 2024

Terbitnya PKPU Nomor 6 Tahun 2023 secara formal merupakan upaya untuk memenuhi perintah MK dimana KPU diberikan kewenangan untuk menata dan menetapkan Dapil yang baru, tapi pada sisi substansi justru bemakna mengingkari keputusan MK. Karena meskipun Dapil baru sudah ditata dan ditetapkan tapi substansinya masih sama dengan Dapil yang lama kecuali untuk daerah pemerkaran di Papua.

Apa yang dilakukan oleh KPU dinilai sebagai sebuah penyimpangan terhadap praktek ketatanegaraan dan kental nuansa akal-akalannya.Mantan Ketua KPU RI Ramlan Surbakti menilai lembaga yang pernah dipimpinnya itu telah melanggar etik sekaligus tidak menaruh hormat terhadap hukum dalam hal ini Keputusan MK. Ramlan, yang sebelumnya dilibatkan KPU RI sebagai anggota tim pakar untuk mengkaji penyusunan dan penataan ulang dapil pascaputusan MK, menilai para komisioner KPU harus diadukan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

"Karena tidak menghormati hukum, tidak melaksanakan hukum, terang-terangan tidak perlu pakai interpretasi," ujar guru besar ilmu politik Universitas Airlangga itu, dalam diskusi virtual yang dihelat Indonesia Corruption Watch (ICW) bertajuk "Jelang Sidang Kecurangan Pemilu: DKPP Harus Tindak Penyelenggara Bermasalah", Selasa (7/2/2023).

"Kalau KPU tidak menjalankan undang-undang, berarti KPU menyelenggarakan pemilu atas dasar apa? Oh, ada tekanan ini, karena dia lebih takut kepada parpol di DPR daripada kita-kita ini, daripada undang-undang," katanya lagi.

Sementara itu, Perludem menilai preseden ini berpotensi jadi sumber sengketa pada Pileg 2024 nantinya. Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati mengingatkan bahwaMK telah meminta agar dapil DPR RI dan DPRD provinsi ditata ulang mengikuti penyusunan dapil yang baik sesuai UUU Pemilu No. 7/2017 Pasal 185. "Kalau mereka potensi mendapatkan kursinya lebih besar jika dapil disusun sesuai prinsip Pasal 185 UU Pemilu, lalu kenyataannya dapilnya berbeda (dalam PKPU), mereka mungkin menggugat," ujar Ninis kepada Kompas.com pada Selasa (7/2/2023).

"Kenapa KPU tidak menata padahal menurut putusan MK dapil ini harus ditata berdasarkan prinsip Pasal 185?" begitu katanya. Namun, lebih dari itu, tidak ditata ulangnya hampir seluruh dapil DPR RI dan DPRD provinsi, dianggap membuat partai-partai politik bisa menarik napas panjang. Sebab, ini berarti, "investasi" mereka di masing-masing dapil masih bisa tetap terjaga.

Senada dengan Perludem, Pakar hukum tata negara Universitas Andalas Charles Simabura menilai, ada masalah hukum yang berpotensi muncul jika Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI membuat Peraturan KPU tentang penataan daerah pemilihan (dapil) DPR RI dan DPRD provinsi yang isinya menyalin ulang format lama.

 "Jangan-jangan nanti saat sengketa hasil pemilu, bisa saja pemohon mendalilkan `saya dirugikan dengan penataan dapil seperti ini karena mengabaikan putusan MK, akhirnya saya tidak terpilih," kata Charles dalam diskusi virtual yang diselenggarakan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, dikutip Selasa (17/1/2023).

Sementara itu hakim konstitusi, Saldi Isra meminta semua pihak untuk waspada. Saldi meminta agar jangan sampai kerancuan aturan ini justru menjadi pintu masuk bagi persoalan sengketa maupun persoalan lain di tahapan Pemilu 2024, yang bisa berakibat panjang. "Ini ingatan saja sebagai pengingat yang disampaikan MK," kata dia.

Silang sengkarut menyangkut penetapan Dapil untuk pemilu 2024 ini telah menempatkan Lembaga penyelenggara Pemilu seperti KPU menjadi sorotan masyarakat karena sikap sikap politik yang diambilnya. Posisi KPU yang semestinya independent sebagai penyelenggara Pemilu terkesan sudah semakin menjauh dari posisi semula bergeser kepada kepentingan penguasa. Apakah memang begitu faktualnya?

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال