Di Awal Tahun 2023, Garam Itu Kembali Ditabur di Atas Luka

 


Desmond J Mahesa
Wakil Ketua Komisi III DPR RI
(Foto: nett)


BORNEOTREND.COM - Sampai saat ini pidato Presiden Jokowi yang berisi pengakuan dan penyesalan Presiden atas 12 pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat masa lalu di Istana Negara, Rabu (11/1/2023), masih menjadi perbincangan hangat masyarakat Indonesia.

Pengakuan yang disampaikan oleh Presiden Jokowi tersebut merupakan tindak lanjut atas laporan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM berat di masa lalu yang sebenarnya publik rata-rata sudah mengetahuinya.

Seperti apa pendapat para pengamat terkait dengan pidato Presiden soal pengakuan dan penyesalannya terhadap pelanggaran HAM berat masa lalu yang hingga kini belum juga tuntas penyelesaiannya?

Bagaimana gambaran penyelesaian pelanggaran HAM berat pada saat pemerintah yang sekarang berkuasa? Mengapa pidato Presiden Jokowi soal pengakuan dan penyesalan atas 12 pelanggaran HAM berat masa lalu itu tak ubahnya seperti menabur garam di atas luka?

Ragam Opini

Pidato Presiden Jokowi soal pengakuan dan penyesalan pelanggaran HAM berat masa lalu telah memuncukan tanggapan beragam, antara lain disampaikan oleh Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).

Lembaga ini menyebut pengakuan dan penyesalan Presiden Jokowi soal 12 kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia harus disertai dengan langkah konkret untuk menyelesaikannya.

KontraS menilai negara harus melakukan pertanggungjawaban hukum dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

"Kami memandang bahwa pengakuan dan penyesalan yang disampaikan Presiden Joko Widodo tentu tidak ada artinya jika tidak diikuti dengan langkah konkret pertanggungjawaban hukum dan akuntabilitas Negara dalam menyelesaikan kasus Pelanggaran HAM berat masa lalu," jelas Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyati dalam siaran persnya, Kamis (12/1/2023) seperti dikutip media.

Sementara itu Setara Institute menilai pernyataan Presiden Joko Widodo yang mengakui adanya kasus pelanggaran HAM berat masa lalu setelah menerima laporan dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) dinilai sebagai aksesori politik semata.

“Sebagai aksesori, pengakuan dan penyesalan itu hanya akan memberikan dampak politik bagi presiden, tetapi tidak memenuhi tuntutan keadilan sebagaimana digariskan oleh UU 26/2000 Tentang Pengadilan HAM,” kata Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (12/1/23).

Senada dengan Setara Institute, orang tua korban Peristiwa Semanggi I Bernardinus Realino Norma Irmawan alias Wawan, Maria Katarina Sumarsih menganggap pernyataan Presiden Joko Widodo soal pelanggaran HAM berat masa lalu hanya sekedar pencitraan pencitraan belaka.

Sumarsih menduga pernyataan Jokowi itu hanya sekedar syarat Jokowi dalam melunasi janjinya saat berkampanye."Ini hanya untuk pencitraan, bahwa saya sudah melunasi janji kampanye," ujar Sumarsih di Aksi Kamisan ke-759, Jakarta, Kamis (12/1/23) seperti dikutip CNN. Indonesia.

Penilaian bahwa pidato Presiden soal pengakuan dan penyesalan terkait HAM masa lalu hanya sekadar pepesan kosong belaka juga di utarakan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan 18 LBH se-Indonesia.

Mereka khawatir dan memprediksi bahwa pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyampaikan pengakuan, penyesalan, dan jaminan ketidakberulangan terhadap 12 kasus pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) hanyalah ilusi dan berhenti sebagai retorika kosong yang terus diulang untuk kesekian kalinya.

"Karena itu YLBHI mendesak pengakuan dan penyesalan tersebut harus dibuktikan secara konkrit melalui proses hukum, tindakan dan keputusan-keputusan strategis," ujar Ketua Umum YLBHI, M Isnur di Jakarta, Kamis (12/1/2023).

Isnur menilai Pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (TPP HAM) tidak lebih dari pencitraan Pemerintahan Presiden Joko Widodo di akhir masa jabatannya untuk seolah memenuhi janji politiknya dan bagian dari langkah pemerintah untuk terus memberikan impunitas kepada pelaku pelanggaran HAM berat, terlebih menjelang Pemilihan Umum 2024.

Tanggapan yang bernada positif disampaikan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Lembaga ini merespons baik pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal pelanggaran HAM berat di masa lalu. 

"Menyikapi pernyataan tersebut, Komnas HAM menyambut baik sikap Presiden atas adanya pengakuan terhadap 12 peristiwa pelanggaran HAM berat yang telah diselidiki oleh Komnas HAM," kata Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro dalam keterangan persnya, Kamis 12 Januari 2023.

Potret Penyelesaian kasus HAM Berat

Banyaknya pendapat yang rata-rata menilai miring pidato pengakuan dan penyesalan Presiden Jokowi terkait dengan persoalan HAM berat masa lalu tersebut memang memunculkan tanda tanya.

Hal ini sepertinya sangat erat kaitannya dengan kinerja pemerintahan Jokowi selama berkuasa dalam menuntaskan kasus-kasus HAM berat masa lalu seperti yang dijanjikan dalam kampanyenya.

Pada masa kampanye Pilpres 2014 dan 2019, Jokowi berkomitmen menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu dan menghapus impunitas bagi pelakunya.

Komitmen tersebut juga tercantum dalam visi, misi, dan program aksi yang dikenal dengan sebutan Nawa Cita. Salah satu poin dalam sembilan agenda prioritas Nawa Cita, Jokowi berjanji akan memprioritaskan penyelesaian secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM pada masa lalu.

Nyatanya selama masa pemerintahannya, berdasarkan laporan Kejaksaan Agung,dari 15 kasus pelanggaran HAM berat, hanya 3 perkara yang dituntaskan perkaranya.

"Ada 15 perkara pelanggaran HAM berat yang ditangani oleh Kejaksaan Agung. Ada 3 kasus yang sudah diselesaikan. Terdapat 12 perkara HAM yang belum diselesaikan," ujar Burhanuddin dalam Rapat Kerja dengan Komisi III di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (7/11/2019).

Adapun tiga kasus yang sudah dianggap selesai yakni kasus Timor Timur tahun 1999, kasus Tanjung Priok 1984 dan peristiwa Abepura 2000.Sebenarnya bisa ditambahkan satu lagi kasus yang sudah diselesaikan pada tahun 2022 yang lalu yaitu pelanggaran HAM berat di Paniai Papua.

Namun penyelesaian empat kasus yang disebut diatas terkesan hanya untuk memenuhi kewajiban penyelesaian yudisial semata. Karena penyelesaian kasusnya terkesan sarat dengan ketidakadilan terutama di pandang dari sudut para korbannya.

Barangkali karena tidak ingin kinerjanya disebut sama saja dengan Presiden Presiden sebelumnya maka Presiden yang berkuasa sekarang telah berupaya untuk meningkatkan kinerjanya dalam menyelesaikan permasalahan HAM berat di Indonesia.

Untuk itu Pemerintah Jokowi mengeluarkan Keppres tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu sebagaimana diatur dalam Kepres No. 17 Tahun 2022 (Keppres PPHAM).

Alih-alih mendapatkan respons positif dari masyarakat Indonesia, kebijakan mengeluarkan Kepres tersebut justru memantik perlawanan dari beberapa elemen masyarakat Indonesia.

Terbitnya Kepres No. 17/2022 telah memantik reaksi dari beberapa Lembaga yang tergerak untuk mengkritisinya seperti SETARA Institute, Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (Kasum), Koalisi Masyarakat Sipil seperti KontraS, Imparsial, YLBHI, LBH Jakarta, HRWG, PBHI, Amnesty International Indonesia, INSERSIUM, Persaudaraan Alumni 212 dan yang lain lainnya.

Mereka mencoba bersuara kritis atas kebijakan pemerintah menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM berat dimasa lalu melalui Kepres No. 17/2022. Beberapa kritik yang disampaikan terkait dengab Kepres tersebut diantaranya:

Pertama, Keppres No. 17/2022 dinilai sebagai instrumen pembungkaman yang ditujukan untuk menghambat aspirasi korban dan publik menggunakan janji-janji rehabilitasi fisik, bantuan sosial, jaminan kesehatan, beasiswa, atau rekomendasi lain untuk kepentingan korban dan keluarganya.

Desain Keppres dinilai bukan cara yang diajarkan dalam disiplin hukum hak asasi manusia atau praktik internasional terkait keadilan transisi (transitional justice) atas pelanggaran HAM masa lalu.

Sebab, syarat utama penyelesaian non yudisial haruslah didahului dengan upaya pengungkapan kebenaran, verifikasi visibilitas penyelesaian secara hukum, dan dengan kerja yang tidak terburu-buru. Hal ini dipastikan tidak akan mungkin terjadi dan tidak mungkin bisa dilakukan oleh Tim PPHAM.

Kedua, Dengan pembentukan PPHAM, menunjukkan adanya ketidakpatuhan Presiden Jokowi pada mandat UU No. 6 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang memerintahkan bahwa peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi setelah UU tersebut diundangkan harus diselesaikan melalui pengadilan HAM permanen.

Tidak ada ruang bagi Komnas HAM maupun Jokowi untuk membelokkan peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM setelah tahun 2000, kecuali diselesaikan melalui pendekatan yudisial.

Lagi pula penyelesaian kasus HAM berat melalui proses peradilan adalah amanat UU karenanya perubahan atau diskresi penyelesaian secara non yudisial tidak bisa ditetapkan dengan bentuk Keppres semata.

Ketiga, ada nuansa kedustaan dalam proses penerbitan Kepres No. 17/2022 sebab Presiden Jokowi awalnya mengatakan bahwa Keppres tersebut telah ditandatangani pada 16 Agustus 2022 dan diumumkan saat Pidato Kenegaraan. Tetapi faktanya, Keppres tersebut baru ditandatangani 26 Agustus 2022.

Hal ini berarti ada ketidakjujuran teknis yang menggambarkan bahwa kehendak pemutihan pelaku pelanggaran HAM ini bukan sepenuhnya datang dari diri Presiden Jokowi, melainkan orang-orang di sekelilingnya yang diduga terlibat dalam berbagai pelanggaran HAM masa lalu.

Ke empat, sejumlah anggota Tim PPHAM dinilai sebagai orang orang yang bermasalah yang sangat erat hubungannya dengan peristiwa pelanggaran HAM di Indonesia. Bahkan beberapa anggota diduga terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia.

Diantaranya ada tokoh yang jelas masuk dalam list PBB sebagai pejabat tinggi TNI yang sangat kuat diduga terlibat dalam pelanggaran HAM berat di Timor Timur ketika masih menjadi bagian dari Indonesia.

Ada juga anggota Tim PPHAM yang bernama Asad Said Ali (pernah menjabat sebagai wakil Kepala BIN) yang juga diduga pelanggar HAM karena namanya sempat muncul dalam Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Pembunuhan Aktivis HAM Munir Said Thalib sebagai orang yang diduga kuat terlibat dalam pembunuhan Munir.

Dengan komposisi Tim yan bermasalah ini maka langkah langkah Tim PPHAM dinilai tidak akan memperoleh legitimasi publik dan pengakuan internasional.

Kelima, Pendekatan non-yudisial yang didorong oleh Presiden Jokowi melalui pembentukan Tim PPHAM dinilai akan menutup ruang bagi korban dan keluarganya untuk memperoleh kebenaran dan keadilan atas peristiwa pelanggaran hak azasi manusia.

Pendekatan non-yudisial ini hanya akan melanggengkan imunitas bagi pelakunya sehingga penyelesaian melalui pendekatan non-yudisial yang diatur di dalam Keppres tersebut menjadi jalan pintas penyelesaian kasus HAM berat yang selama ini menjadi beban penguasa.

Langkah ini diambil penguasa karena lemahnya komitmen dan ketidakberanian politik Presiden dalam menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu yang melibatkan banyak petinggi tentara.

Padahal penyelesaian pelanggaran HAM berat seperti kasus Talangsari, Semanggi I dan II, Trisakti atau Wasior Papua dan lain lainnya masih dimungkinkan karena diduga pelakunya masih ada, artinya masih bisa diminta pertanggungjawabannya.

Ke enam, penerbitan Keppres No. 17/20022 dinilai lebih didasarkan pada pertimbangan dan kepentingan yang sifatnya politik, bukan sebagai bentuk kehendak politik dari Presiden untuk menjalankan kewajiban konstitusional dalam mewujudkan kebenaran dan keadilan bagi korban dan keluarganya.

Hal ini sejatinya bukanlah hal yang baru dari Presiden, mengingat selama ini selalu ada ketidakselarasan antara pernyataan dan perbuatan dalam menyikapi persoalan HAM, termasuk dalam menyikapi isu penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang selalu tidak jelas ujungnya.

Ke Tujuh, Dalam ketentuan pasal 9 dan 10 Keppres No. 17/20022 dinyatakan bahwa tugas dari tim PPHAM itu adalah melakukan pengungkapan dan analisis terhadap pelanggaran HAM berat masa lalu.

Dalam pengungkapan dan analisisnya itu, Tim diberikan rambu-rambu atau batasan yaitu semata-mata tertuju kepada: latar belakang, sebab akibat, faktor pemicunya, dan identifikasi korban dan dampak yang ditimbulkannya.

Padahal dalam suatu peristiwa kejahatan, khususnya yang menyangkut tindak pidana pembunuhan, yang harus diungkap adalah siapa pelakunya. Sehingga sudah semestinya berbagai investigasi dan analisis harus dilakukan guna mengungkap siapa pelaku dari tindak kejahatan pembunuhan tersebut.Bukan sebaliknya, yang dianalisis atau diungkap hanya korbannya saja.

Mengingat hasil kerja tim sama sekali tidak menganalisis atau mengungkap siapa pelaku atau aktor intelektual pelanggaran HAM berat masa lalu maka hampir bisa dipastikan akan membuat para korban pelanggaran HAM berat menjadi kecewa.

Dengan model penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat dimasa lalu melalui Keppres tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu sebagaimana diatur dalam Kepres No. 17 Tahun 2022 (Keppres PPHAM) diatas, mencerminkan buruknya penyelesaian masalah pelanggaran HAM berat di Indonesia selama pemerintah yang sekarang berkuasa.

Karena melalui Keppres itu terkesan seolah olah Presiden Jokowi berpura-pura bertanggung jawab atas pelanggaran HAM berat dimasa lalu padahal mungkin ada hidden agenda dibaliknya.

Karena itu Lembaga seperti Imparsial telah mendesak Presiden Jokowi agar mencabut Keppres tersebut dan kemudian meminta agar proses yudisial dijalankan melalui Jaksa Agung untuk segera menindaklanjuti hasil penyelidikan kasus pelanggaran HAM masa lalu dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) dengan melakukan penyidikan secara transparan dan bertanggungjawab terhadap peristiwa Pelanggaran HAM Berat masa lalu.

Permintaan pembatalan juga disampaikan oleh Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) yang menilai Keppres tersebut hanya memperlihatkan watak pemerintah yang ingin mencari jalan pintas menuntaskan pelanggaran HAM di masa lalu.

Mereka menilai tim Penyelesaian Pelanggaran HAM berat yang ditunjuk Jokowi lewat Keppresnya adalah cara pemerintah melayani para pelanggar HAM berat masa lalu agar terhindar dari mekanisme yudisial yang seharus ditempuh untuk mewujudkan keadilan bagi semuanya.

Namun jangan kemudian penyelesaian secara yudisial itu dilaksanakan sedemikian rupa untuk hanya sekadar menggugurkan kewajiban belaka.Contoh penyelesian kasus Pelanggaran HAM di Paniai Papua, yang mulai tanggal 21 September Tahun 2022 lalu dimulai persidangannya.

Pengadilan HAM di Pengadilan Negeri Makassar, Sulawesi Selatan itu terkesan berjalan tidak seperti harapan publik pada umumnya.

Sebab bagaimana mungkin, peristiwa pelanggaran HAM berat yang syarat utamanya adalah sistematis, meluas dan massif, tetapi hanya mampu menjerat 1 orang purnawirawan, yang juga hanya sebagai seorang penghubung di Kodim Paniai 1705?

Kalau penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu melalui pembentukan Tim PPHAM hanya sekadar untuk seolah olah pemerintah telah berupaya menyelesaikan kasus HAM berat yang tidak bisa diselesaikan oleh pemerintah sebelumnya, maka kebijakan seperti ini berarti hanya penyelesaian yang sifatnya semu belaka.

Demikian pula penyelesaian kasus HAM melalui jalur yudisial yang dilaksanakan “ala kadarnya” seperti penyelesaian kasus HAM Paniai yang saat ini sedang berlangsung sidangnya, maka akan memunculkan kesan bahwa semua dilakukan hanya sekadar menggugurkan kewajiban belaka atau bahkan sekadar ingin menaikkan citra Pemerintah yang sedang berkuasa ditengah jebloknya kinerja penegakan hukum yang berkeadilan di Indonesia.

Itulah potret penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia yang ditangani oleh pemerintah yang sekarang berkuasa. Wajar kalau kemudian banyak pihak yang menilai minor kinerja pemerintah dalam penyelesaian HAM berat di Indonesia.

Apalagi ditengah tengah upaya yang mengecewakan itu tiba tiba Kepala negara kembali berpidato yang isinya berupa pengakuan dan penyesalan Presiden atas 12 pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) berat masa lalu di Istana Negara. Lalu untuk apa?

Menabur Garam Di atas Luka

Berlarut-larutnya penyelesaian kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat masa lalu tidak hanya menimbulkan penderitaan yang berkepanjangan bagi mereka yang menjadi korbannya, tetapi juga menjadi beban bagi Pemerintah yang berkuasa.

Karena secara konstitusional Pemerintah diberikan mandat untuk bisa menyelesaikan kasus kasus HAM tersebut secara adil dan transparan sesuai dengan ketentuan yang ada.

Di tengah agenda penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang masih terkatung katung penyelesainnya, Presiden Jokowi kembali berpidato untuk mengungkapkan pengakuan dan penyesalannya atas terjadinya pelanggaran HAM berat masa lalu yang belum berhasil di tuntaskannya.

Ungkapan penyesalan sekaligus pengakuan Presiden Jokowi tanpa adanya upaya mengadili pihak-pihak yang harus bertanggung jawab hanya akan menambah garam pada luka korban dan keluarganya.

Semakin perih saja rasanya ketika garam itu kembali ditaburkan ke atas luka. Mengapa demikian? Karena selama bertahun tahun keluarga korban sudah berjuang untuk mendapatkan keadilan tetapi yang didapat hanya sekadar pengakuan dan penyesalan yang disampaikan oleh pemimpinnya.

Rasa perih dan pedih itu antara lain di sampaikan oleh Maria Katarina Sumarsih orang tua korban Peristiwa Semanggi I Bernardinus Realino Norma Irmawan alias Wawan.

Seperti dikutip oleh media, Sumarsih mengaku, ia sempat menaruh harapan besar pada Presiden Jokowi untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat termasuk tragedi Semanggi I yang merenggut nyawa anaknya.Bahkan, ia menuturkan Aksi Kamisan pada 2014 silam sempat mendukung Jokowi menjadi presiden Indonesia di periode pertama.

"Di 2014, Aksi Kamisan itu kita kampanye `ayo pilih Jokowi`, karena kan harapan kami di dalam Kamisan dalam menghapus impunitas, ini kan pengharapan itu sangat besar sekali sampai saya mau berhenti Aksi Kamisan waktu itu saking percayanya," ujarnya.

"Harapan saya Pak Jokowi berani memerintahkan Jaksa Agung untuk membentuk tim penyidik ad hoc sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat 3 UU pengadilan HAM, harapan saya itu," tambahnya.

Namun harapan itu tinggal harapan belaka karena tidak pernah bisa diwujudkan seperti yang diharapkannya. Sampai dengan periode kedua masa pemerintahan yang sekarang berkuasa, harapan Sumarsih tinggal harapan hampa. 

Tentu banyak lagi Sumarsih Sumarsih lain yang merasakan betapa perih derita yang harus mereka sandang ditengah ketidakpastian perjuangan untuk mendapatkan keadilan bagi keluarga korban pelanggaran HAM berat yang dialaminya. Mereka sudah menanti dalam waktu yang cukup lama tapi keadilan yang diimpikan tak kunjung tiba.

Rasa perih dan sakit hati tentunya tidak cuma dirasakan oleh 12 korban pelanggaran HAM berat yang disebut oleh Presiden Jokowi dalam pidatonya tetapi tetapi juga pelanggaran HAM yang tidak disebut oleh Presiden Jokowi dalam pidatonya.

Pelanggaran HAM yang tidak disebut oleh Presiden Jokowi dalam pidatonya itu misalnya pelanggaran HAM di kasus meninggalnya petugas penyelenggara pemilu pada Pemilu 2019 lalu dimana ada 5.175 petugas mengalami sakit dan ada 894 petugas yang meninggal dunia. 

Ada pula pelanggaran HAM di kasus meninggalnya 6 laskar FPI yang hingga saat ini tidak jelas bagaimana pertanggungjawabannya.

Belum lagi kasus lain seperti pelanggaran yang dilakukan selama Tragedi Tanjung Priok 1984, peristiwa penyerangan 27 Juli 1996 atau peristiwa Kudatuli, dan juga kasus pembunuhan aktifis Munir yang tidak menyentuh siapa dalangnya.

Dengan tidak disebutnya pelanggaran HAM kasus kasus tersebut sesungguhnya menjadi angin surga bagi para pelaku kejahatannya. Karena para pelakunya merasa aman aman saja dimana hukum tidak mampu menjangkaunya.

Padahal adanya impunitas melalui penuntutan dan penghukuman pelaku adalah satu-satunya cara untuk mencegah terulangnya pelanggaran hak asasi manusia dan memberikan kebenaran dan keadilan sejati kepada para korban dan keluarganya.

Tentu ibarat luka yang masih menganga, terhadap kasus pelanggaran HAM yang tidak disebut Presiden Jokowi dalam pidatonya ini akan semakin jauh panggang dari api untuk penyelesaiannya.

Karena disebut saja tidak apalagi harapan untuk penyelesaian kasusnya. Sehingga ibarat luka yang masih belum sembuh, akan semakin perih terasa ketika segenggam garam kembali ditaburkan diatas lukanya. 

Begitukah kira-kira?

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال