Agar Negara Bebas Utang dan Rakyat Gajian 20 Juta Tiap Bulan!

 


Desmond J Mahesa
Wakil Ketua Komisi III DPR RI
(Foto: nett)


BORNEOTREND.COM - Beberapa waktu yang lalu, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD angkat suara menyusul viralnya video pengakuan Ismail Bolong terkait setoran uang hasil tambang ilegal ke Kabareskrim yang diduga sebagai bekingnya.

Meski belakangan, muncul video Ismail Bolong yang memohon maaf ke Kabareskrim dan meralat ucapannya.

Dari pernyataan Ismail Bolong tersebut membawa pesan tentang betapa besarnya uang yang beredar di sektor tambang batubara di Indonesia. Bahkan Mahfud MD kemudian mengaku teringat pernyataan Abraham Samad mantan Ketua KPK.

Samad di tahun 2013 itu pernah mengatakan, jika korupsi di bidang tambang bisa diberantas, Indonesia bisa terbebas dari utang dan rakyat bisa gajian Rp20 juta tiap bulannya.

Apa yang diungkapkan oleh Mahfud MD yang menyitir pernyataan Abraham Samad tersebut tentu saja merupakan sebuah harapan sekaligus mimpi yang sudah sangat lama dirindukan perwujudannya oleh seluruh warga bangsa.

Karena pada dasarnya tujuan dibentuknya negara ini adalah membuat rakyatnya bahagia, sejahtera sebagaimana amanat pembukaan Undang Undang Dasar 1945.

Benarkah potensi pendapatan kita dari sektor tambang begitu besarnya sehingga bisa membuat negara bebas dari utang dan menggaji rakyatnya hingga 20 juta perbulannya?

Tetapi mengapa saat ini negara kita justru bertambah utangnya dan rakyat belum bisa hidup sejahtera? Apa yang harus dilakukan oleh pemerintah sebagai pemegang mandat rakyat untuk mewujudkan cita cita agar Indonesia bebas utang dan rakyatnya bisa gajian 20 juta perbulannya?

Pendapatan Negara Melimpah

Dalam kesempatan membuka sebuah Seminar Internasional Lembaga Penjamin Simpanan di Bali, Rabu (9/11/2022) yang lalu,.dengan bangga Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan memamerkan kekayaan yang dimiliki oleh Indonesia.

Dalam seminar yang juga dihadiri oleh delegasi dari 25 negara termasuk mantan PM Selandia Baru periode 1999-2008 Helen Clark itu, Luhut Panjaitan menjelaskan bahwa Indonesia negara kepulauan terbesar, yang memiliki 17.500 pulau dan menyimpan kekayaan yang tidak bisa dimiliki oleh negara lain di dunia.

"Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia. Indonesia juga merupakan negara terbesar kedua yang memiliki cadangan tembaga ratusan kilo ton, dengan yang berada di 6 lokasi di wilayah Indonesia. Indonesia ini sangat kaya" jelasnya.

Apa yang disampaikan oleh Menko Luhut Binsar Panjaitan tersebut benar adanya bahkan kalau mau ditambahkan datanya :

Indonesia merupakan produsen tembaga ke-9 terbesar di dunia. Urutan ke-13 produsen bauxite di dunia serta urutan ke-2 produksi timah di dunia.

Urutan ke-6 produksi emas di dunia. Urutan ke-16 produksi perak di dunia. Urutan ke-11 produksi gas alam di dunia. Urutan ke-4 produsen batu bara di dunia. Produksi CPO (minyak sawit) terbesar atau urutan 1 di dunia.

Urutan ke-8 penghasil kertas di dunia. Urutan ke-22 penghasil minyak di dunia. Urutan ke-2 produsen kayu di dunia, dan lain sebagainya.

Indonesia memiliki cadangan besar dalam gas alam, batu bara, minyak, tembaga, emas, timah, bauxite, nikel, timber, serta kekayaan hayati dan biodiversitas yang luar biasa

Pendek kata, Indonesia ini dalam hal sumber daya alam adalah negara dengan kekayaan alam terlengkap di dunia. Kondisi ini tentu saja patut kita syukuri sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa untuk bangsa Indonesia.

Bahwa negara Indonesia itu sangat kaya sumberdaya alamnya sudah banyak diketahui bukan saja oleh bangsa Indonesia sendiri tetapi juga oleh warga dunia pada umumnya.

Itulah sebabnya banyak negara di dunia yang merasa iri dan mengincar kekayaah alam Indonesia sehingga berkali kali Indonesia jatuh ke tangan penjajah asing mulai Belanda sampai Jepang sampai dengan kemudian kita merdeka pada tahun 1945.

Setelah Indonesia merdeka lepas dari tangan penjajah, tentu ada harapan kekayaan alam yang sangat melimpah tersebut bisa menjadi modal utama untuk membuat rakyat Indonesia menjadi negara yang sejahtera sebagaimana cita cita para pendiri bangsa.

Karena kalau sebelumnya kekayaan sumber daya alam (SDA) itu dikuasai oleh penjajah, kini menjadi milik bangsa sendiri yang dikelola oleh pemerintah Indonesia yang sedang berkuasa.

Besarnya potensi pendapatan Negara dari sektor SDA pernah di ungkap oleh Abraham Samad,mantan Ketua KPK.

Dalam kesempatan berpidato di Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PDI Perjuangan di Hotel Ecopark Jakarta tahun 2013 lalu, Mantan Ketua KPK Abraham Samad pernah mengatakan bahwa potensi pendapatan negara dari sektor SDA bisa mencapai Rp 7.200 triliun setiap tahunnya.

Bahkan bila ditotal, kata Samad, pajak dan royalti yang dibayarkan dari blok migas, batubara, dan nikel pada setiap tahunnya dapat mencapai Rp 20.000 triliun jumlahnya. “Dengan jumlah sebesar ini bila dibagi ke seluruh rakyat, maka pendapatan rakyat Indonesia per bulan bisa mencapai Rp 20 juta," begitu katanya.

Data data yang diungkap oleh KPK berdasarkan hasil penelitiannya tersebut tentunya cukup valid alias tidak mengada ada. Karena kalau kita berkaca pada tambang di Kaltim saja yang menyeret Kabareskim ternyata nilainya mencapai Rp. 227,95 triliun, seperti diberitakan law-justice.co Selasa, 08/11/2022. Belum lagi potensi tambang yang berada di propinsi lain di seluruh Indonesia.

Begitu besarnya kekayaan sumberdaya alam (SDA) kita tetapi nyatanya meskipun saat ini sudah 77 tahun Indonesia merdeka, cita cita untuk mewujudkan Indonesia yang sejahtera secara adil dan merata itu masih sebatas utopia belaka.

Kekayaan alam yang melimpah ternyata belum mampu membuat rakyat Indonesia hidup sejahtera. Kekayaan alam yang melimpah ternyata belum menyumbang pendapatan yang signifikan bagi negara.

Saat ini penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari SDA hanya berkisar 300 triliun saja.Jumlah penerimaan negara dari sektor SDA yang tak pernah naik bahkan ada kecenderungan merosot dengan tajam bagaikan batu menggelinding ke jurang yang dalam menganga.

Untuk diketahui, PNPB SDA adalah penerimaan negara dalam bentuk bagi hasil atau royalti yang yang dapat diperoleh negara dari pengerukan kekayaan SDA Indonesia.

Sebagai gambaran Tahun 2013 setahun sebelum Jokowi jadi presiden penerimaan negara bukan pajak dari SDA senilai 226,4 triliun rupiah atau 15% dari total penerimaa negara.

Selanjutnya selama lima tahun Jokowi sebagai presiden penerimaan bukan pajak dari SDA turun menjadi rata rata sekitar Rp 154,8 triliun atau 8% dari total penerimaan negara.

Selama delapan tahun Jokowi berkuasa penerimanaan SDA terus merosot jumlahnya. Bayangkan tahun 2022 ini, penerimaan negara bukan pajak dari SDA diproyeksikan turun lagi menjadi Rp 121,9 triliun atau sisa 6,5 persen dari total pendapatan negara.

Adapun proyeksisi PNBP untuk tahun 2023 mendatang hanya sedikit naik menjadi Rp188,7 triliun atau 6 persen dari total penerimaan negara.

Fenomena tersebut tentunya sangat irornis karena selama 8 tahun Pemerintahan Jokowi adalah era habis habisan dalam pengerukan SDA mulai dari batubara, nickel, bauxite, tembaga, emas, migas, dan lain-lainnya.

Tetapi pendapatan negara dari sektor SDA tidak beranjak naik bahkan hanya berkutat diangka yang hampir sama setiap tahunnya.

Pertanyaannya adalah mengapa sumberdaya alam yang seyogyanya membawa berkah bagi segenap rakyat Indonesia tersebut hingga kini belum dapat dinikmati oleh rakyat Indonesia? Pada hal Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 jelas menyebutkan bahwa ‘bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat’ Indonesia?

Mengapa cita cita kesejahteraan rakyat melalui optimalisasi pemanfaatan SDA ini belum bisa diwujudkan juga? Mengapa Pendapatan SDA cenderung merosot, mungkinkah terjadi Kongkalikong antara bandit SDA dengan Menteri Keuangan kita?

Habis Dijarah

Semua terjadi karena SDA itu di curi alias dikorupsi melalui praktek kongkalingkong dalam pemberian izin izin yang dikeluarkan oleh penguasa di Pusat maupun Daerah, baik disektor tambang, perkebunan, hutan, perikanan dan yang lainnya.

Selain itu tidak memenuhi pelaporan, tidak membayar kewajiban pajak kepada negara tetapi terus menerus dibiarkan saja. Hal ini menunjukkan buruknya tata kelola penambangan di Indonesia.

Kondisi tersebut sebenarnya telah berlangsung lama sejak zaman militeristik Soeharto yang dari awal kemunculannya menyingkirkan kelompok nasionalis dan kiri yang bercita-cita membangun kedaulatan Indonesia seutuhnya. Ditandai dengan dikeluarkannya Undang-Undang No 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.

Di tahun 1967 itu pula untuk pertama kalinya Soeharto memberikan restu kepada PT Freeport (Amerika Serikat) untuk mengkooptasi Gunung Ertsberg di Papua, yang merupakan gunung dengan kandungan tembaga terbesar ketiga dan kandungan emas terbesar pertama di dunia.

Sejak saat itu sampai sekarang emas yang berasal dari Papua diboyong ke Amerika karena berdasarkan perjanjian Pemerintah Indonesia hanya mendapatkan pembagian keuntungan 1% untuk hasil penjualan emas dan 3,75% untuk penjualan tembaga dan perak kepada Indonesia. Sebuah perjanjian paling konyol yang mungkin pernah terjadi di dunia.

Terkaparnya rezim Soeharto, ternyata tidak ada upaya untuk membendung arus modal yang mengkooptasi SDA, namun tetap dibuka lebar-lebar dan seluas-luasnya.

Bahkan pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bersama para anggota Dewan yang terhormat mengesahkan UU No. 5 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Melalui Undang Undang inilah segala upaya menjual sumber daya negeri secara terbuka diwujudkan dengan tanpa beban dosa.

Dibanding dengan Undang Undang Penanaman Modal yang lama (Undang Uundang No. 1/1967), Undang Undang yang baru (yaitu Undang Undang No. 5/2007) jauh lebih gila.

Jika dulu hak pakai hanya diberikan seperlunya (sesuai Undang Undang Agraria), maka di Undang Undang yang baru bisa diberikan selama 70 tahun lamanya.

Sedang hak guna usaha yang sebelumnya 25 tahun, di Undang Undang baru bisa selama 95 tahun lamanya. Adapun untuk hak guna bangunan yang awalnya 30 tahun, di Undang Undang baru bisa digunakan selama 80 tahun. Itu baru beberapa pasal saja, masih banyak pasal lain yang bernalar “menjual Indonesia”, termasuk produk hukum turunannya.

Ibarat keluar dari mulut harimau masuk mulut buaya, pemerintah yang terpilih pasca SBY mengakhiri masa jabatannya ternyata sama saja atau bahkan lebih gila. Disahkannya Undang Undang Omnibuslaw Cipta Kerja telah memberikan karpet merah bagi upaya penjarahan SDA di Indonesia.

Dalam kaitan ini Indonesia Corruption Watch (ICW) seperti dikutip media, telah memberikan sejumlah catatan terkait omnibus law Undang Undang Cipta Kerja, khususnya pada bagian energi dan SDA.

Peneliti ICW Egi Primayogha menilai, substansi Undang Undang Cipta Kerja justru berdampak merugikan bagi lingkungan hidup dan menguntungkan para pebisnis atau sektor privat yang menguasai SDA.

Egi menuturkan, setidaknya ada lima masalah dalam Undang Undang Cipta Kerja terkait SDA. Pertama, penerimaan negara dari sektor tersebut berpotensi berkurang bahkan sirna.

Alasannya, Undang Undang Cipta Kerja menghapus kewajiban royalti yang wajib dibayarkan pengusaha kepada negara setelah mengeruk sumber daya mineral dan batubara.

Pengusaha yang berinisiatif mengolah batubara menjadi dimethyl ether (DME) atau gasifikasi batubara, akan mendapat insentif penghapusan kewajiban membayar royalty batubara.

Padahal, pada 2018 penerimaan Sumber Daya Alam (SDA) mencapai Rp 180 triliun, di mana 17 persen berasal dari pendapatan dari pertambangan mineral dan batubara.

Kedua, kesempatan negara mengelola sumber daya secara mandiri dapat sirna. Sebab, UU Cipta Kerja menghapus ketentuan yang mewajibkan perusahaan batubara dengan lisensi Perjanjian Karya Pertambangan Batu Bara (PKP2B) berubah ke Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Padahal, Pasal 81 Undang Undang Minerba menyatakan pemegang IUPK yang mendapatkan mineral logam atau batubara yang tergali wajib melaporkan kepada Menteri ESDM.

"BUMN/D mendapat prioritas untuk mengelola pertambangan batubara setelah masa waktu lisensi perusahaan PKP2B berakhir masa berlakunya. Undang Undang Cipta Kerja juga menghapus ketentuan IUPK dan prioritas bagi BUMN/D," katanya.

Ketiga, soal kelonggaran syarat pengelolaan batubara dalam Undang Undang Cipta Kerja.

Dalam Pasal 83 Undang Undang Minerba, luas wilayah pertambangan mineral dibatasi hingga 25 ribu hektare dan pertambangan batubara 15 ribu hektare Sedangkan, dalam Undang Undang Cipta Kerja menghapus ketentuan tersebut dan hanya mengatur batas luas wilayah untuk kegiatan eksplorasi pertambangan mineral dan batubara. Hal ini, menurut Egi, akan membuka jalan bagi pebisnis untuk mengeksploitasi batubara “selamanya”.

Keempat, Undang Undang Cipta Kerja juga dinilai akan menguntungkan perusahaan batubara yang dimiliki oleh para elite, termasuk mereka yang duduk sebagai pejabat publik ataupun terafiliasi dengan perusahaan di negara "tax heaven".

Kelima, Undang Undang Cipta Kerja merugikan masyarakat dan lingkungan hidup karena pemberian insentif dan keleluasaan bagi perusahaan tambang akan mendorong pengusaha tambang itu melakukan ekspansi diwilayah kerja pertambangan yang dikelolanya. Hal ini juga menimbulkan pertanyaan terkait komitmen pemerintah terhadap krisis iklim yang berpengaruh pada perubahan cuaca .

“Jadi alih-alih memberikan dorongan untuk transisi ke energi baru terbarukan (renewable energy), pemerintah justru memberikan insentif bagi pebisnis untuk semakin mengeruk batubara sebagai sumber energi kotor," tutur dia.

Dari lima catatan ICW tersebut terlihatlah betapa Pemerintah yang terpilih melalui pemilu ternyata hanya melahirkan predatoris satu ke predatoris yang lain, yang ternyata tak pernah punya tekad untuk merebut kedaulatan bangsa.Nasib rakyat ibarat lepas dari mulut buaya diterkam oleh singa.

Lahirnya beberapa ketentuan Undang Undang seperti Undang Undang Cipta Kerja dan Undang Undang Mineral Batu Bara (Minerba), telah menyebabkan hampir seluruh konsesi pengelolaan SDA jatuh ke tangan korporasi swasta, yang tak jarang adalah milik pengusaha mancanegara.

Itu terjadi karena tak ada persiapan sedikit pun sebelumnya bagaimana SDA yang ada dikelola dan dimanfaatkan untuk rakyat Indonesia sepenuhnya.

Alhasil, pasca reformasi bisa dibilang sebagai era paling agresif dari hilangnya kedaulatan SDA di Indonesia. Tak ada lagi dimensi publik di wilayah SDA sebagaimana digariskan Pasal 33 UUD 1945. Di era inilah nyaris semua SDA (tambang, hutan, dll) beralih ke pelukan sektor swasta.

Apa Yang Harus Dilakukan?

Mencermati segala fenomena yang ada tersebut diatas, pemerintah Jokowi di periode pertamanya , sebenarnya pernah bertekad untuk memperbaiki pengelolaan SDA di Indonesia.

Tekad ini tercermin dari gerakan yang diinisiasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan ditandai dengan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) rencana aksi bersama gerakan penyelamatan SDA Indonesia oleh 20 kementerian dan 7 lembaga. 

MoU tersebut berisikan tentang komitmen melaksanakan rencana aksi sebanyak 58 program yang antara lain berisi upaya optimalisasi pendapatan negara, dan upaya pencegahan korupsi dibidang SDA.

Hal ini selaras dengan janji kampanye Jokowi- JK dibidang korupsi yang termaktub dalam Nawacita, khususnya poin keempat: “Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya”.

Penandatanganan Gerakan Nasional Penyelamatan SDA, yang diinisiasi oleh KPK di Istana Negara itu dilakukan pada bulan 19 Maret 2015. Tapi nampaknya realisasi dari gerakan itu sekarang tinggal cerita belaka. Upaya mengoptimalkan pendapatan Negara melalui penegakan hukum bidang SDA itu sudah dilupa.

Diduga ada upaya sistematis untuk melemahkan KPK agar Lembaga anti rasuah ini tidak menjalankan gerakan penyelatan SDA. Salah satu upayanya adalah melalui Revisi Undang Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 

Menurut Koalisi Antimafia Sumber Daya Alam mengatakan, revisi Undang Undang KPK beberapa waktu yang lalu telah menguntungkan mafia maupun taipan (konglomerat) atau pemodal sektor SDA. Indikasinya, para mafia sektor SDA ini bersengkokol melawan KPK.

Langkah-langkah pelemahan KPK ini, dianggap jadi desain besar untuk melanggengkan kerja-kerja oligarki ke depan dalam mengeruk kekayaan alam dan praktik illegal tanpa harus khawatir aparat penegak hukum bakal menjeratnya

Menurut Edi Sutrisno, dari Tranformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia dalam konferensi pers “Gurita Mafia Sumber Daya Alam dalam Penghancuran Upaya Pemberantasan Korupsi”, di Jakarta beberapa waktu yang lalu juga mengatakan bahwa pelemahan penegakan hukum sektor SDA tak hanya melalui lembaga KPK saja namun diikuti pula dengan kebijakan pemerintah lainnya seperti penerbitan Undang Undang Pertanahan, Undang Undang Sumber Daya Air, Undang Unang Minerba, Undang Undang Pembenihan atau Sistem Budaya Pertanian Berkelanjutan,Undang Undang tentang Perkoperasian dan ketentuan lainnya.

Masa-masa konsolidasi dalam pelemahan KPK maupun pengesahan Undang Undang lain, katanya, diduga jadi ajang ‘menagih janji’ korporasi pada masa pemilihan umum legislatif (pileg) dan pemilihan umum presiden (pilpres) 2019 yang berhasil mengantarkan pemerintahan Jokowi berkuasa di periode keduanya.

Dugaan itu, untuk melanggengkan keberlanjutan pendanaan dari korporasi agar tetap terjaga.

”Sejauh ini KPK memang paling getol bicara terkait penerimaan pajak negara dari sektor sumber daya alam, seperti sawit dan tambang. KPK memaksa para taipan harus benar membayar pajak. Ini yang tentu mengganggu,” katanya.

Melalui Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam, pemberantasan korupsi sektor Minerba dan sawit yang dilakukan oleh KPK, dianggap berbahaya untuk keberlanjutan bisnis yang menghalalkan segala cara.

”Investasi kotor itu akan memberikan benefit besar bagi korporasi tetapi merugikan negara.”, begitu imbuhnya seperti dikutip media.

Karena penegakan hukum untuk penjarahan SDA sudah lemah tak berdaya maka mereka yang selama ini memperkaya diri dari potensi kekayaan SDA bisa leluasan menjalankan aksinya tanpa harus takut hukum bakal menjeratnya.

Hal ini berujung pada minimnya pemasukan negara dari sektor SDA. Kini negara terkesan sedang memanjakan para pengeruk SDA itu melalui kolaborasi antara penguasa dan pengusaha.

Kekurangan pendapatan negara akhirnya harus di tutup dari utang yang kini sudah sangat membengkak lebih dari 7 ribu triliun jumlahnya. Selain utang, Menteri Keuangan Sri Mulyani juga lagi sibuk “memeras dan menginjak rakyat” lewat kenaikan berbagai jenis macam pajak yang sangat memberatkan rakyat Indonesia.

Pajak rakyat dinaikkan mulai sembako sampai warung warung konon dipajaki pula. PPN diputuskan naik menjadi 11% nilainya. Saat ini Menteri Keuangan Sri Mulyani juga sedang mempertimbangkan untuk memajaki knalpot kendaraan bermotor!

Bukan cuma itu, dana haji, dana JHT, dana Jamsostek, dana Asabri, dan lain-lain kabarnya juga dimanfaatkan untuk menambal kekurangan pendapatan negara. Rakyat “diperas” untuk ikut mengatasi defisit APBN yang terus meningkat jumlahnya.

Sementara rakyat “diperas habis habisan” melalui kenaikan pajak dan kenaikan harga harga., para bandit SDA malah mendapat tax amnesty jilid 2 untuk mencuci harta hasil kejahatan keuangan mereka.

Mereka juga bebas menjalankan aksinya tanpa harus takut diburu oleh aparat penegak hukum karena sudah dimandulkan kekuatannya.Sekarang negara kita benar-benar kere, karena utangnya terus menggunung sementara kebanyakan rakyat masih tetap saja sengsara.

Ironisnya ditengah situasi seperti digambarkan diatas, Menko Luhut Panjaitan dalam seminar Internasional di Bali tempo hari, malah pamer kepada delegasi mancanegara kalau Indonesia itu negara yang kaya raya.

Pada saat yang hampir bersamaan Menkopolhukam Mahfud MD dengan menyitir pernyataan Abrahan Samad menyatakan bahwa negara Indonesia sebenarnya bisa bebas utang dan rakyatnya gajian 20 juga per bulan kalau SDA dikelola secara benar tanpa ada korupsi disana.

Pertanyaannya sekarang adalah siapa yang harus mewujudkan itu semua? Yang bisa mewujudkan cita cita bahwa negara kita akan bebas utang dan rakyat bisa gajian sekurangnya 20 juta perbulannya?

Bukankah itu semua menjadi tugas pemerintah yang sedang berkuasa untuk mewujudkannya sesuai amanat pasal 33 UUD 1945 ?, Atau pernyataan itu hanya sekadar angin sorga untuk menghibur rakyat ditengah suasana duka pasca pandemi virus corona?

Ditengah hiruk pikuk copras capres yang saat ini mewarnai pemberitaan media massa, akan menarik juga jika ada kandidat Capres yang berani membuat komitmen atau bikin janji untuk penyelamatan SDA Indonesia sehingga rakyat menjadi sejahtera.

Kemudian akan mengundurkan diri jika selama lima tahun masa pemerintahannya tidak mampu memenuhi janjinya. Janjinya sederhana saja yaitu membebaskan Indonesia dari hutang dan menggaji seluruh rakyat sebesar 20 juta perbulannya. Adakah kira kira Capres yang berani melakukannya?

Lebih baru Lebih lama
Pilkada-Kota-BJB

نموذج الاتصال