![]() |
| Oleh: Nazwa Aflianti — 231021122006 |
BORNEOTREND.COM – Praktik pembukaan lahan gambut melalui metode pembakaran kerap menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Di satu sisi, terdapat kebutuhan kelompok masyarakat kecil untuk mengolah lahan sebagai sumber penghidupan. Namun, di sisi lain, praktik tersebut menimbulkan risiko kerusakan lingkungan yang tidak dapat diabaikan. Sebagai mahasiswa hukum, saya memandang persoalan ini sebagai dilema yang menuntut kajian mendalam. Menurut saya, praktik pembakaran masih dapat ditoleransi dalam kondisi tertentu, sepanjang memenuhi syarat yang ketat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) sebagai payung hukum utama, serta aturan turunannya, yaitu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan.
UU PPLH secara tegas melarang pembukaan lahan dengan cara membakar, sebagaimana tercantum pada Pasal 69 ayat (1) huruf h. Namun Pasal 69 ayat (2) UU PPLH menyatakan bahwa larangan tersebut harus memperhatikan kearifan lokal di setiap daerah. Ketentuan ini menunjukkan bahwa negara tidak sepenuhnya menutup ruang bagi praktik yang dilakukan masyarakat adat atau petani tradisional. Mereka menggunakan teknik yang diwariskan turun-temurun, dilakukan dalam skala kecil, dan umumnya lebih terkendali dibandingkan pembakaran yang dilakukan oleh pihak-pihak berskala besar.
Larangan dalam UU PPLH lahir dari alasan yang jelas. Pasal 67 dan Pasal 68 mengamanatkan bahwa setiap orang wajib menjaga kelestarian lingkungan, mencegah pencemaran, dan menghindari kerusakan. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa kearifan lokal tidak dapat dijadikan dalih untuk membenarkan praktik yang berpotensi membahayakan ekosistem gambut. Prinsip-prinsip dasar lingkungan yang tertuang dalam Pasal 2 dan Pasal 3 antara lain asas keberlanjutan, keadilan, dan kearifan lokal menuntut agar setiap tindakan tetap mempertimbangkan keselamatan manusia serta kelestarian alam.
Ketentuan dalam UU PPLH sejalan dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 yang mengatur mekanisme pencegahan pencemaran dan kerusakan akibat kebakaran hutan dan lahan. Peraturan tersebut memuat kewajiban pencegahan, pemantauan, serta penanganan dini apabila muncul titik api. Salah satu ketentuan penting termuat dalam Pasal 4, yang menyatakan bahwa masyarakat hukum adat dapat melakukan pembakaran lahan dengan luas maksimal dua hektare per kepala keluarga, dengan kewajiban memberitahukan rencana tersebut kepada kepala desa. Ketentuan ini mempertegas bahwa pembakaran tradisional bukanlah praktik bebas, melainkan kegiatan yang harus berada dalam kerangka pengawasan administratif yang jelas.
Menurut saya, Pasal 4 tersebut menunjukkan bahwa negara tidak hanya memberikan ruang bagi praktik tradisional, tetapi juga memastikan adanya tanggung jawab dan transparansi. Pemberitahuan kepada kepala desa berfungsi sebagai mekanisme pengawasan awal, guna memastikan kegiatan pembakaran tidak berkembang menjadi kebakaran besar yang sulit dikendalikan. Dengan demikian, praktik pembakaran tradisional tetap dapat dijalankan tanpa mengabaikan keselamatan lingkungan maupun masyarakat sekitar.
Saya berpandangan bahwa pembakaran tradisional dapat menjadi titik temu antara kebutuhan masyarakat dan upaya perlindungan lingkungan. Namun praktik ini hanya dapat dibenarkan apabila memenuhi beberapa syarat penting. Pertama, dilakukan oleh komunitas lokal yang memahami aturan adat dan memiliki kemampuan mengendalikan api berdasarkan pengalaman turun-temurun. Kedua, area yang dibakar tidak melebihi daya dukung lahan. Ketiga, kegiatan pembakaran tidak menimbulkan pencemaran atau kebakaran besar yang dapat merugikan masyarakat sekitar. Risiko kebakaran harus ditekan serendah mungkin.
Jika seluruh ketentuan tersebut terpenuhi, praktik pembakaran lahan gambut secara tradisional dapat diterima secara hukum, sosial, dan moral. Negara perlu terus memberikan ruang bagi masyarakat lokal yang menggantungkan hidup pada lahan yang mereka kelola, sepanjang praktik tersebut masih berada dalam koridor UU PPLH. Kearifan lokal dapat tetap dihargai selama tidak bertentangan dengan prinsip perlindungan lingkungan.
Walaupun saya menyetujui pembakaran lahan gambut secara tradisional dalam batas tertentu, saya menilai bahwa negara tetap memiliki tanggung jawab besar untuk menyediakan alternatif lain. Pilihan pembukaan lahan tanpa bakar harus tersedia melalui pelatihan, teknologi sederhana, dukungan teknis, serta penyediaan sarana agar masyarakat adat atau petani tradisional tidak hanya bergantung pada metode bakar. Hal ini menjadi catatan penting bagi pemerintah agar masyarakat tidak hanya diberikan beban tanggung jawab, tetapi juga memperoleh solusi aman bagi keberlanjutan ekosistem gambut.
Pada akhirnya, saya berpendapat bahwa pembakaran lahan gambut berbasis kearifan lokal dapat dibenarkan secara hukum apabila memenuhi persyaratan ketat sebagaimana telah saya uraikan. Permasalahan ini bukan sekadar dilema tentang diperbolehkan atau tidaknya praktik tersebut, melainkan tentang keseimbangan antara hak masyarakat lokal dan perlindungan lingkungan. Di sinilah hukum berperan untuk memastikan kedua kepentingan tersebut dapat terintegrasi secara proporsional.
