Menggadaikan Demokrasi di Arena Pilkada

Oleh: Mohammad Effendy 
(Forum Ambin Demokrasi)


BORNEOTREND.COM - Peristiwa pemilihan calon walikota/wakil walikota Banjarbaru telah mempertontonkan perilaku politik yang mengganggu akal sehat kIta semua. Pemilu/Pilkada yang didesain untuk melakukan pergantian kekuasaan secara teratur, terhormat, dan bermartabat sesuai perkembangan dan dinamika masyarakat modern dirusak oleh syahwat kekuasaan yang berlebihan. Mereka yang menyelenggarakan Pilkada dan diberi kewenangan untuk mengawalnya agar berjalan sesuai prinsip-prinsip demokrasi ternyata telah abai terhadap amanah yang berada di pundaknya.

Ketika Bawaslu Provinsi Kalsel mengeluarkan rekomendasi kepada KPU agar melakukan tindakan diskualifikasi terhadap Paslon yang melanggar rambu-rambu Pilkada, tidak ada menyertakan hasil konsultasi dengan Bawaslu (Pusat). Begitu juga saat KPU Banjarbaru membuat keputusan untuk melaksanakan rekomendasi Bawaslu Provinsi dimaksud, tidak ada uraian penjelasan bahwa tindakan itu sudah dikonsultasikan dengan KPU Provinsi dan KPU(Pusat).

Akan tetapi ketika dampak dari tindakan diskualfikasi tersebut menimbulkan persoalan serius baik secara teknis maupun aspek substansial, KPU Banjarbaru buru-buru melakukan konsultasi dan menunggu fatwa KPU (Pusat). Masyarakat akhirnya mendapatkan kejutan ketika KPU (Pusat) membuat “fatwa” bahwa suara yang ditujukan kepada kertas yang bergambar Paslon yang didiskualifikasi dianggap tidak sah. KPU (Pusat) yang diharapkan menjadi benteng terakhir untuk mengawasi jalannya Pilkada sekaligus sebagai institusi pengawal demokrasi ternyata masuk dalam lingkaran yang ikut merusak jaring demokrasi.

Masyarakat masih dapat mentoleransi tindakan KPU Banjarbaru yang melakukan diskualifikasi, dan sangat memahami kesulitan tehnis untuk mencetak kerta suara baru untuk mengganti surat suara yang masih memuat foto Paslon yang didiskualifikasi. Pemahaman adanya kesulitan tehnis untuk mencetak surat suara baru menjadikan masyarakat dapat menerima jika KPU tetap menggunakan surat suara lama. Akan tetapi tafsirnya adalah bahwa suara yang mendukung foto Paslon yang didiskualifukasi dianggap sebagai pendukung “kotak kosong”.

Persoalan muncul ketika KPU (Pusat) memberikan tafsir dalam “fatwanya” bahwa suara yang mendukung foto Paslon yang disikualifikasi dianggap tidak sah. Fatwa tersebut tentu saja sangat menghebohkan sekaligus menggelikan serta irrasional karena bertentangan dengan akal sehat. Masyarakat tidak diberikan pilihan suara yang memiliki “makna”, padahal di saat yang sama sedang dilangsungkan pemilihan – lalu pemilihan apa dan untuk siapa?

Pasangan calon tunggal diberikan tempat secara normatif dalam Undang-Undang, namun tetap harus dibuka ruang kontestasi dengan “Kotak Kosong” sebagai pilihan. Pilkada adalah arena untuk mendapatkan dukungan publiik bagi mereka yang sedang berkontestasi, termasuk berkontestasi dengan Kotak Kosong, dan inilah esensi dari demokrasi yang akan dibangun.

Sebagai esensi demokrasi, maka pasangan Calon tunggal selalu dihadapkan dengan Kotak kosong sebagai kompetitornya dan ini berlaku baik dari awal pendaftaran yang hanya menghadirkan paslon tunggal maupun dalam tahapan proses menuju pemungutan suara sebagaimana peristiwa di Banjarbaru. Mereka yang berpendapat bahwa Kotak Kosong hanya disediakan bagi Paslon Tunggal yang sejak awal masa pendaftaran merupakan satu-satunya Paslon, adalah pendapat yang tidak memahami “asbabun nuzul” lahirnya Calon Tunggal versus Kotak Kosong.

Penyelenggara Pilkada sebenarnya sedang diberi peluang untuk menjadi pelaku sejarah dalam pembangunan demokrasi lokal, dan seyogianya peluang tersebut dimanfaatkan untuk membuat rekaman historis yang dapat membuat kebanggaan bagi anak cucu di masa yang akan datang.  

Akan tetapi ketika peluang dimaksud justeru digunakan untuk “menggadaikan” demoktrasi di arena Pilkada, maka mereka sedang menggoreskan catatan sejarah yang buram.
Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال