Pemilu dan Sirkulasi Kekuasaan

 

Noorhalis Majid
(Aktivis Ambin Demokrasi)


BORNEOTREND.COM - Agar demokrasi berjalan sehat, tiap periode tertentu tampuk kekuasaan harus berganti. Dan Pemilu, cara yang dipilih untuk sirkulasi kekuasaan. Karenanya jabatan kepala pemerintahan hasil Pemilu, dibatasi maksimal dua periode saja. Seberapa pun hebat, populer dan tinggi elektabilitasnya, tetap tidak boleh lebih dua periode. 

Sayangnya, ketentuan tersebut tidak berlaku bagi lembaga legislatif. Asal masih dipilih, mau sepuluh kali juga boleh menjabat kembali. 

Mestinya, kalau konsisten pada sirkulasi kekuasaan, walau regulasinya tidak melarang – walau ketentuannya tidak mengharamkan, hendaknya sadar dan membatasi diri tidak ikut Pemilu lebih dari dua periode. Birkan bersirkulasi, berikan kesempatan pada yang lain, agar pergantian kepemimpinan terjadi, agar demokrasi berjalan sehat dan seimbang. Terlebih, tidak ada pula prestasi yang dibanggakan, hanya duduk - diam - duit, baru mendekati Pemilu datang menyapa pemilih.

Sebab sudah memiliki duit dan sumber daya, mudah saja bagi petahana mengkonsolidasikan dukungan agar tetap terpilih. Sehingga, banyak yang masih menjadi caleg, walau sudah duduk 4 bahkan 5 periode. 

Kekuasaan itu, kata novelis dan penulis politik Republik Ceko paling terkenal, Milan Kundera, memang cendrung lupa, sekali berkuasa, ingin terus berkuasa. Sekali terpilih, ingin selamanya terpilih, tanpa mau memberikan kesempatan pada yang lain. 

Dulu, ketika sistem Pemilunya masih proporsional tertutup, caleg terpilih berdasarkan nomor urut yang ditetapkan Partai, ada yang sampai 7 periode menjadi anggota legislatif, 35 tahun tanpa mau diganti. 

Lantas, kalau tidak ada pergantian caleg, untuk apa Pemilu? 




Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال