Nasib Santunan Gagal Ginjal Akut: Sempat Saling Lempar, Akhirnya Dibahas Empat Kementerian

 

SANTUNAN: Ilustrasi gagal ginjal akut misterius pada anak -Foto dok nasional.kompas.com

BORNEOTREND.COM- Wacana pemberian bantuan atau santunan kepada korban gagal ginjal akut (acute kidney injury/AKI) akibat keracunan obat sirup oleh pemerintah terus berlanjut.

Terkini, bantuan tersebut dibahas oleh empat kementerian, yakni Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, serta Kementerian Keuangan.

"Masih dibahas, yang santunan kan? He eh, nanti ini masih dibahas," kata Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi saat ditemui di bilangan Tebet, Jakarta Selatan, Senin (27/3/2023).


"Kemarin terakhir Sabtu masih pertemuan antara kita, Kemensos, Kemenkeu, dan Kemenko PMK untuk mekanismenya," imbuh Nadia.

Pembahasan ini dilakukan lintas kementerian lantaran Kemenkes tidak memiliki tugas dan fungsi secara langsung menyalurkan bantuan tersebut.

Biasanya, anggaran bantuan sosial berada di bawah Kementerian Sosial (Kemensos). Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pun turut terlibat, mengingat kementerian ini mengatur besaran anggaran tiap kementerian/lembaga dengan pertimbangan tertentu

Adapun pertemuan tersebut membahas mekanisme pemberian bantuan, kriteria penerima, dan petunjuk teknis pemberian santunan.

"Karena kan sebenarnya Kemenkes itu tidak punya tusi (tugas dan fungsi) untuk memberikan santunan ya, jadi kan bukan tugas kita. Nah, tapi Kemensos masih mempertimbangkan. Seperti itu," imbuh dia.

Saling lempar

Diketahui, pembahasan antar kementerian ini terjadi usai Kemensos mengaku tidak memiliki anggaran untuk memberikan santunan kepada korban gagal ginjal pada 21 Maret 2023. Hal ini juga sudah disampaikan ke Kemenko PMK.

Padahal sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy menyampaikan, bantuan tersebut tengah diproses di Kemensos. Data korban gagal ginjal pun sudah diserahkan Kemenkes kepada Kemensos.

Menteri Sosial Tri Rismaharini beralasan, anggaran di balai-balai Kemensos sudah mengalami penurunan hingga Rp 300 miliar. Begitu pula anggaran bencana yang turun sekitar 50 persen.

Adapun balai-balai ini diisi oleh orang-orang yang membutuhkan, meliputi ODGJ, anak telantar, orang telantar, anak sakit, hingga tempat rehabilitasi yang perlu diberi makan dan dipenuhi hak-haknya.

Terkait data korban, Risma mengakui Kemenkes telah memberikannya. Namun, tidak adanya anggaran kementerian untuk memberikan santunan tersebut menjadi kendala utama.

Akhirnya, Muhadjir menyatakan, pemerintah akan menggunakan anggaran lain.

"Sedang diupayakan menggunakan alokasi dana yang lain," kata Muhadjir Effendy saat dihubungi Kompas.com, Kamis (23/3/2023).

Obat-obatan dan alkes ditanggung BPJS

Terlepas dari itu, Nadia menegaskan, obat-obatan dan alat kesehatan untuk korban gagal ginjal akut yang menjalani rawat jalan masih ditanggung oleh BPJS Kesehatan.

Obat penawar racun yang diimpor dari luar negeri, yakni fomepizole, memang tidak ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Namun, obat tersebut pun masih diberikan gratis oleh Kementerian Kesehatan.

"Masih ditanggung terus. Iya (seterusnya masih ditanggung), itu termasuk pembiayaannya oleh BPJS," kata Nadia.

Tak cuma obat dan alat kesehatan, biaya perawatan di rumah sakit juga tetap ditanggung pemerintah, selama rumah sakit itu sesuai dan bisa menangani pasien gagal ginjal.

Pasalnya, tidak semua rumah sakit umum daerah (RSUD) di wilayah Jakarta yang mampu menangani pasien gagal ginjal.

"Misalnya (RSUD) Tarakan itu bisa. Tapi RSUD Kramat kan belum tentu bisa. Atau dia di rumah sakit vertikal (seperti) Fatmawati, rumah sakit RSCM, pokoknya rumah sakit vertikal itu sudah dinyatakan biaya ditanggung BPJS," ucap Nadia.

"Jadi dia enggak akan ada pembiayaan yang perlu dia tanggung sendiri," jelas Nadia.

Sebagai informasi, gagal ginjal akut pada anak sebelumnya dinyatakan sebagai penyakit misterius karena belum diketahui penyebabnya. Belakangan diketahui, kasus ini disebabkan oleh keracunan obat sirup mengandung zat kimia berbahaya etilen glikol dan dietilen glikol (EG/DEG).

Zat kimia berbahaya itu sejatinya tidak boleh ada dalam obat sirup, namun cemarannya kemungkinan ada karena zat pelarut tambahan yang diperbolehkan di dalam obat sirup, yakni propilen glikol, polietilen glikol, gliserin/gliserol, dan sorbitol.

Cemaran ini tidak membahayakan sepanjang tidak melebihi ambang batas.

Data Kemenkes hingga 5 Februari 2023 mencatat, sebanyak 326 kasus gagal ginjal yang tersebar di 27 provinsi di Indonesia.

Tak berhenti sampai situ, para korban menggugat Kemenkes dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), serta beberapa perusahaan farmasi maupun distributor yang tidak memenuhi ketentuan. Mereka menganggap Kemenkes dan BPOM lalai dan menuntut biaya ganti rugi.

Sumber: nasional.kompas.com

Lebih baru Lebih lama
Pilkada-Kota-BJB

نموذج الاتصال