Menyemai Jalan Menuju Negara Kepolisian Republik Indonesia?

 

Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI.
(Foto: nett)


BORNEOTREND.COM - Akhir-akhir ini jajaran korps bhayangkara kembali mendapatkan perhatian dari publik setelah munculnya nama eks Kapolda Sulawesi Utara, Irjen Pol Remigius Sigid Tri Hardjanto dalam daftar 50 orang yang dinyatakan lolos seleksi calon komisioner Komnas HAM (Hak Azasi Manusia).

Kelompok masyarakat sipil di bidang HAM hingga komisioner Komnas HAM periode saat ini mengkritik keikutsertaannya. Salah satu poin yang mereka persoalkan adalah posisi yang disandang Irjen Pol Remigius Sigid Tri Hardjanto sebagai mantan pejabat Polri yang belum lama meninggalkan jabatannya. Padahal lembaga Kepolisian selama ini dikenal sebagai objek yang kerap dilaporkan dan melakukan tindakan pelanggaran hak azasi manusia.

Dikuatirkan kalau ada unsur polisi yang masuk komisioner Komnas HAM bisa mengganggu netralitasnya. Karena bagaimanapun ketidakterlibatan polisi penting agar Indonesia tetap memegang Paris Principles yaitu agar Komnas HAM tetap independen dan sesuai tugas pokok dan fungsinya. Fungsi Komnas HAM salah satunya sebagai alat untuk mengawasi pemerintahan dan aparat penegak hukum dimana polisi termasuk didalamnya.

Masuknya Inspektur Jenderal Polisi Remigius Sigid Tri Hardjanto sebagai calon anggota Komnas HAM bahkan disebut sebut sebagai salah satu indikasi upaya untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara polisi ( police state) yang sangat dikuatirkan eksistensinya.

Apa yang dimaksud dengan Negara Polisi yang akhir akhir ini banyak diperbincangkan di sosial media ?, Suatu negara dikatakan menjelma menjadi Negara Polisi, kira kira apa indikatornya ?. Apakah saat ini kita memang sudah mengarah kepada terwujudnya Negara Kepolisian Republik Indonesia?


Negara Polisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, Negara polisi atau polizeistaat adalah sebuah istilah yang menandakan bahwa pemerintah memegang kekuasaan arbitrasi melalui kekuatan pasukan polisi sebagai pengendalinya. Para penduduk dari sebuah negara polisi mengalami pembatasan pada mobilitas mereka, atau pada kebebasan mereka untuk berekspresi atau berkomunikasi tentang pandangan politik atau yang lainnya.

Menurut Merriam-Webster Dictionary, negara polisi ditandai oleh kontrol pemerintahan represif terhadap kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang biasanya dilakukan dengan kekuasaan arbitrer polisi atau intelijen sesuai dengan prosedur hukum yang diketahui secara publik.

Negara polisi (polizei staat) awalnya merupakan suatu kondisi negara dimana kedudukan raja diatas warga negaranya. Hubungan antara raja dan warga negaranya bisa dianggap hubungan yang sepihak, karena rajalah yang menentukan segalanya.

Walaupun raja bertugas untuk menyelenggarakan kepentingan rakyat, tetapi rakyat tidak boleh ikut campur didalamnya. Oleh karena rakyat tidak mempunyai hak terhadap raja, dan segala sesuatunya ditentukan oleh raja.

Rakyat tidak diikutsertakan dalam urusan menentukan hubungan kedua belah pihak yaitu raja dan rakyatnya. Dari segi lain, karena semuanya ditetapakan oleh raja (walaupun dalam rangka pelaksanaan kepentingan umum), tentu saja rakyat tidak dapat menuntut kepada raja apabila dalam pelaksanaan pemerintahan raja melakukan suatu perbuatan yang melanggar hukum ataupun penyalahgunaan kekuasaannya.

Pada tipe negara polisi ini, kalaupun mungkin ada hukum administrasinya, maka hukum admistrasi negara hanya berbentuk intruksi-intruksi (insrtuktiefsrecht) yang harus diindahkan oleh aparat negara dalam melaksanakan tugasnya, sekaligus merupakan aturan yang mengatur tentang cara bagaimana alat perlengkapan negara melaksanakan fungsinya.

Sejak zaman feodal dan kolonial dimana sebelum meletusnya Revolusi Perancis, kepolisian memang lebih banyak digunakan untuk kepentingan penguasa daripada rakyatnya. Pada era Norman Feodalism di Inggris misalnya terdapat campur tangan penguasa pada penyelenggaraan fungsi kepolisian disana. Istilah constable yang lahir pada saat itu bukan merupakan perwakilan kelompok-kelompok masyarakat melainkan orang-orangnya raja.

Penggunaan kepolisian bagi kepentingan penguasa ternyata juga diadopsi oleh negara-negara jajahan seperti Indonesia pada zaman Hindia Belanda. Marieke Bloembergen dalam Polisi Zaman Hindia Belanda (2011) memberi pengertian negara polisi sebagai, “negara yang secara berkelanjutan mereduksi persoalan yang muncul dari pergerakan (bangkitnya nasionalisme atau kebangsaan di kalangan masyarakat) menjadi sekadar masalah kepolisian belaka” (hlm. 317-318).

Praktik yang paling banal dari pengertian itu adalah pembatasan terhadap kebebasan dan aktivitas politik warga dan pengawasan ketat terhadap gerak individu disuatu wilayah negara. Bahkan pengawasan macam ini dilakukan secara kebablasan oleh pemerintah Hindia Belanda.

Polisi kolonial tak hanya menyasar eksponen politik, tapi juga setiap individu yang dianggap punya potensi ancaman terhadap pemerintah Belanda. Fenomena ini misalnya seperti yang diceritakan oleh sejarawan Ong Hok Ham tentang akademikus kolonial asal Perancis bernama G.H. Bousquet dalam bunga rampai Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang (2003).

Cendekiawan ini dikisahkan sedang mengunjungi Hindia Belanda pada 1930. Sebagai pengamat, Bousquet sebelumnya punya kekaguman dan citra positif tentang Hindia Belanda. Namun begitu sampai di sana seluruh kekagumannya sirna seketika, mengapa?

Karena kemana-mana ia diawasi dan ceramah-ceramahnya diancam undang-undang subversi/dianggap melawan negara. Padahal ia adalah seorang konservatif yang cenderung setuju dengan kolonialisme dan ceramahnya pun tak berkaitan langsung dengan Hindia Belanda. Dalam penilaiannya, aparat Hindia Belanda terlalu banal dalam membelokkan hukum untuk mengamankan kepentingan pemerintah kolonial Belanda.

Menurut Ong Hok Ham, kebijakan polisionil diterapkan karena memang cocok untuk Belanda. Dimana Belanda sebagai negara kecil harus pintar-pintar mengatur daerah jajahannya dengan meminimalisasi penggunaan senjata.

Eksekusi dan hukuman mati sebisa mungkin dihindari karena Belanda tak menginginkan adanya martir yang bisa membangkitkan perlawanan rakyat di daerah jajahannya. “Oleh karena itu, politik Hindia-Belanda dalam menghadapi lawan-lawan politiknya adalah dengan mengantisipasi dan menghalangi gerak mereka,” tulis Ong Hok Ham (hlm. 173)


Indikasi Negara Polisi

Pada zaman Hindia Belanda, wilayah Nusantara dijuluki sebagai Negara Polisi bukan hanya karena pengawasan ketat pemerintah penjajah Belanda pada warga Indonesia tetapi juga faktor faktor lainnya. Bloembergen menyebut setidaknya ada tiga lagi alasan kuat yang mencirikannya.

Pertama, memukul rata semua persoalan politik sebagai gangguan ketertiban dan keamanan daerah jajahannya. Kedua, adanya lembaga kepolisian yang diberi wewenang turut campur dalam politik warga. Ketiga, kepolisian menjadi alat negara yang langsung dikendalikan pemerintahan pusat di Jakarta (hlm. 319).

Apakah kondisi Indonesia saat ini sudah mengarah pada police state atau negara polisi yang menggunakan polisi sebagai alat untuk memelihara kekuasaan, mengawasi dan menjaga kehidupan warganya, hal ini sesungguhnya bisa dinilai dari praktek yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negara kita.

Beberapa indikasi yang mengarah pada perwujudan negara polisi diantaranya dapat digambarkan dalam rangkaian peristiwa, diantaranya;

Pertama, Keberpihakan Polisi Kepada Penguasa. Dalam negara polisi sikap aparat akan cenderung membela kepentingan penguasa daripada mengabdi kepada rakyatnya sehingga sering muncul istilah abdi penguasa bukan abdi negara apalagi abdi pada rakyatnya. Polisi yang seharusnya menjadi abdi rakyat telah menjelma menjadi abdi penguasa dan juga pengusaha.

Kerberpihakan polisi pada penguasa pernah terlihat misalnya pada masa Kapolri Idham Aziz yang mengeluarkan telegram kepada jajarannya. Dalam telegramnya itu Kapolri Jenderal Polisi Idham Aziz memerintahkan jajarannya untuk menindak tegas siapa saja yang melakukan penghinaan terhadap Presiden dan pejabat pemerintah dalam mengatasi pendemi virus corona.

Ketentuan tersebut dinilai memihak ke penguasa karena masalah penghinaan adalah delik aduan sehingga tidak perlu Polisi begitu pro aktif melakukan pencarian tindak pidana atau terkesan mencari cari kesalahan orang untuk dipidana. Karena yang namanya delik aduan itu baru bisa ditindak kalau peristiwanya sudah terjadi dan dilaporkan oleh pihak yang merasa dirugikan nama baiknya.

Contoh lainnya, dalam peristiwa masuknya 49 warga negara China ke Sulawesi Tenggara ditengah merebaknya serangan virus corona. Kedatangan orangChina itu divideokan oleh seorang warga disana, namun yang bersangkutan malah dijadikan tersangka. Peristiwa ini menjadi salah satu indikasi kejadian yang menunjukkan kearah mana aparat negara berpihak dalam melindungi rakyatnya.

Ketika ada warga negara yang peduli dan prihatin atas merebaknya virus corona dengan menginformasikan kedatangan warga negara China ke Sultra justru dianggap sebagai penebar hoaks dan dijadikan tersangka.

Selain itu di balik paranoid akan adanya aksi massa, Polisi juga kerap menggunakan alasan alasan tertentu untuk menangkap pihak pihak yang berseberangan dengan penguasa. Sebagai contoh munculnya pernyataan demo telah ditunggangi oleh pihak-pihak tertentu untuk menggulingkan pemerintahan yang sedang berkuasa. Orang yang dianggap menggangu presiden secara politik dihabisi, sementara di satu sisi polisi membiarkan berbagai pelanggaran yang bisa mengganggu NKRI seperti persoalan TKA China, orang-orang yang juga menyebarkan fitnah dan berita tidak benar terhadap lawan-lawan politik presiden juga dibiarkan saja.

Selain itu sebagai anak anak bangsa sebenarnya kita juga bisa menyaksikan sendiri bagaimana ‘behaviour’ (perilaku) kepolisian di masa pemerintahan yang sekarang berkuasa ketika digelar pemilu atau pemilukada. Akan terlihat bagaimana perilaku para petugas kepolisian di semua level dalam menyikapi proses pemilu/pemilukada. Mulai dari masa prakampanye sampai masa kampanye dan penghitungan suara.

Institusi milik seluruh rakyat dan yang seharusnya hanya mengabdi untuk seluruh rakyat itu, cenderung telah berubah menjadi milik penguasa. Berubah menjadi alat pribadi penguasa untuk menyukseskan misi politik mereka.

Kiranya sudah cukup banyak fakta terhidang terkait dengan kiprah kepolisian yang mengindikasikan lembaga ini cenderung menjadi abdi penguasa daripada mengabdi kepada kepentingan rakyatnya. Pada hal sesungguhnya mereka bekerja dengan gaji yang dibayar oleh rakyat melalui pajak pajak yang dipungut oleh negara.

Kedua, Rangkap Jabatan Diluar Institusinya. Dalam beberapa waktu terakhir, kita menyaksikan fenomena meluasnya jabatan yang dapat diisi anggota Polri aktif di berbagai lembaga. Fenomena meluasnya jabatan yang dapat diisi anggota Polri aktif ini problematik karena tiga alasan: hukum, etik, dan profesionalisme. Dari aspek hukum, fenomena ini bertentangan dengan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Rangkap jabatan Polri aktif juga bertentangan dengan Pasal 17 UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, yang mengatur bahwa pelaksana pelayanan publik dilarang merangkap sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha.

Berdasarkan dua UU tersebut, seharusnya anggota Polri aktif tidak menjabat di kementerian/lembaga negara maupun di BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Namun nyatanya tak sedikit perwira polisi yang menduduki jabatan publik termasuk menjadi Pjs Gubernur, Bupati atau Walikota.

Dari aspek etik, fenomena anggota Polri yang rangkap jabatan menduduki posisi sipil ini bisa menyebabkan pelanggaran etis khususnya “korupsi lunak” karena meniadakan kesempatan bagi orang sipil yang telah memenuhi syarat untuk menduduki posisinya.

Terakhir, dari aspek profesionalisme, fenomena rangkap jabatan dapat menyebabkan menurunnya kinerja anggota Polri aktif dalam menjalankan fungsi dan tugasnya. Karena pemegang rangkap jabatan tidak akan selalu dapat melayani dua tuan sekaligus dibawah tanggungjawabnya.

Ketiga, Sikap Polisi pada Kelompok Oposisi. Pihak oposisi adalah kelompok kelompok masyarakat yang berseberangan pendapat dengan pemerintah yang sedang berkuasa. Mereka itu biasanya bersuara kritis untuk menyikapi kebijakan yang diambil oleh pemerintah yang sedang berkuasa. Sikap kritis ini dijamin dalam Undang Undang Dasar 1945 sehingga harus dihormati hak haknya.

Namun sikap kritis tersebut seringkali berakhir di penjara bagi pelakunya. Menurut Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Jakarta Abdul Fickar Hajar mengatakan Pemerintah sangat paranoid dengan setiap kritik yang dilancarkan oleh masyarakatnya.

Polisi nampak begitu sigap menangkapi mereka yang dinilai “melawan” pemerintah yang sedang berkuasa. Nasib naas pernah dialami oleh aktifis 212 yang disangka makar terhadap pemerintah yang sah dimana mereka diantaranya adaKivlan Zein, Adityawarman, Ratna Sarumpaet, Firza Husein, Eko, Alvin, Rachmawati, Sri Bintang Pamungkas dan yang lainnya. Mereka dijerat pidana makar usai menggelar aksi di depan Istana Merdeka pada 2 Desember 2016 atau yang dikenal dengan Aksi 212.

Selain nama nama yang disebutkan diatas, ada juga Muhammad Al Khaththath, Zainudin Arsyad, Irwansyah, Andre Zainudin dan Dikho Nugraha. Mereka semua ditangkap pada 31 Maret 2017 sebelum Aksi Bela Islam di depan Istana Merdeka, Jakarta, dengan tuduhan melakukan upaya makar kepada penguasa.

Bukan cuma aktifis 212, mereka yang tergabung dalam Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia alias KAMI, juga banyak ditangkapi oleh polisi karena aksi aksi kritisnya.Penangkapan anggota KAMI, salah satu kelompok yang kritis terhadap pemerintah, terjadi di tengah polemik soal "aktor intelektual" di balik kerusuhan dalam unjuk rasa menentang omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja.

Mereka yang ditangkap polisi adalah Juliana, Devi, Khairi Amri, dan Wahyu Rasari Putri dari KAMI Medan; Anton Permana, Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, dan Kingkin di KAMI Jakarta. Sebagian dari mereka akhirnya harus mendekam di penjara.

Beberapa ustadz dan tokoh agama sebelumnya juga sudah banyak yang ditangkapi karena sikap kritisnya terhadap pemerintah yang sekarang berkuasa sebutlah diantaranya seperti Habib Riziek Shihab yang dipenjara dengan tuduhan melanggar Protokol Kesehatan saat pandemi virus corona. Sebuah peristiwa unik karena hanya terjadi di Indonesia dimana pelanggar Prokes sampai dipenjara bertahun tahun lamanya.

Keempat, lewat polisi, negara mengawasi rakyatnya. Di sebuah negara polisi maka negara akan getol mengawasi gerak gerik rakyatnya melalui polisi atau aparatnya. Munculnya kasus warga Slawi Tegal yang dicokok aparat karena unggahan di insagramnya yang mengkritik Walikota Surakarta bisa jadi menjadi salah satu contohnya.

Upaya pengawasan tersebut bisa menggunakan Undang Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang mengandung pasal karet didalamnya karena bisa digunakan sesuai dengan selera penafsirnya. Sadar akan hal ini beberapa waktu yang lalu Presiden Jokowi pernah mengusulkan agar UU ITE di revisi saja. Namun gagasan itu ternyata berhenti hanya sebatas gagasan belaka.

Sementara UU ITE batal di revisi, pihak kepolisian Republik Indonesia sudah bertindak lebih maju dengan membentuk polisi virtual atau virtual police yang saat sudah melakukan ronda di sosial media. Bahkan untuk melengkapi pembentukan polisi virtual telah di usulkan adanya pemberian lencana penghargaan bagi warga masyarakat yang menemukan tindak pidana di sosial media.

Maka patut diduga berdasarkan adanya rangkaian fakta diatas, Indonesia sedang memasuki era baru yaitu era Panoptikon yang dulu juga pernah terjadi pada masa orde baru (orba ) berkuasa.Panopticon atau panoptisisme ialah mekanisme atau strategi bagi beroperasinya kekuasaan negara.

Saat ini sebagian anak anak bangsa mungkin merasa diawasi kebebasan berpendapatnya melalui seperangkat alat alat negara seperti UU ITE (yang mengandung pasal karet), polisi virtual sampai dengan pemberian lencana penghargaan kepada warga negara yang berjasa. Adanya seperangkat “alat pengawas” yang berfungsi sebagai bangunan panopticon tersebut akhirnya membuat warga negara berpilkir berulangkali untuk menggunakan hak hak menyatakan pendapatnya.

Aparat negara yang menangani penegakan hukum yang berfungsi sebagai Panopticon itu tidak bekerja secara adil untuk semua warga. Sehingga hal ini semakin membuat rakyat kebanyak menjadi ciut nyalinya. Bukti bukti sudah banyak terhidang di sosial media mulai kasus Abu Janda dkk yang kebal hukum sampai kasus madam Bansos dan anak pak Lurah yang diduga ikut menikmati dana Bansos corona.

Ke empat, Hukum Tumpul ke Buzzer Penguasa. Di era modern saat ini penguasa yang ingin mempertahankan kekuasaanya bisa meminta bantuan para buzzer sebagai penopangnya. Anggaran negara bisa di alokasikan untuk pekerjaan mereka yang mendukung dan membela kepentingan penguasa. Dibawah arahan kakak Pembina, mereka bisa menebar fitnah, kebencian, hoak dan sebagainya untuk melemahkan posisi pihak pihak yang berseberangan dengan penguasa yang di dukungnya.

Meskipun mereka melanggar hukum,moral dan agama, aktifitasnya akan berjalan aman aman saja karena aparat terkait tidak akan berani menindaknya. Fenomena inilah terjadi saat ini sehingga memunculkan kegeraman masyarakat yang menyaksikannya. Fenomena babak belurnya Ade Armando yang dihakimi massa di dekat gedung wakil rakyat beberapa waktu yang lalu bisa jadi merupakan efek dari ketidakadilan yang selama ini secara telanjang disaksikan oleh massa.

Kelima, Perlakuan Aparat kepada Pengunjuk Rasa. Fenomena polisi juga melakukan kekerasan saat membubarkan unjuk rasa sering mewarnai pemberitaan media massa. Mereka bahkan ada yang luka luka dan ada pula yang sampai meninggal dunia.

Kepolisian sering berdalih bahwa sebagian korban yang meninggal berasal dari pihak perusuh tanpa menjelaskan sebab-musababnya secara gambling sehingga menimbulkan rasa curiga.Menurut data Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Komnas HAM, menunjukan setidaknya 52 orang meninggal dalam demonstrasi yang diadakan sepanjang tahun 2019.

Selain itu, YLBHI mencatat bahwa hingga Oktober 2019, ratusan demonstran mengalami perlakuan berlebihan dari aparat kepolisian, yang menyebabkan luka-luka, hingga penangkapan yang semena-mena.

Kekerasan polisi selain menimpa masyarakat sipil saat proses menjadikan tersangka dan saat unjuk rasa, ternyata juga menimpa para pekerja kuli tinta.Seperti diberitakan oleh republika.co.id, kekerasan aparat terhadap masyarakat sipil juga dialami oleh kalangan jurnalis atau pekerja media.Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Ade Wahyudi mengatakan, tindak kekerasan terhadap jurnalis pada 2019 paling banyak dilakukan oleh aparat yang menangani unjuk rasa.

Menurut Ade, hal itu terlihat dari cara aparat mengamankan aksi unjuk rasa terutama di Jakarta. "Kenapa kemudian terbesar adalah aparat Kepolisian, karena ini terkait bagaimana Kepolisian mengamankan demostrasi," Kata Ade di Kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Senin (13/1/2020).

Demikianlah beberapa kejadian atau rangkaian peristiwa yang menggambarkan hubungan antara negara, polisi dan rakyatnya. Dalam banyak kasus riak riak adanya Negara Polisi di Indonesia memang bisa di potret dari rangkaian kejadian tersebut meskipun seringkali fluktuatif tergantung pada perkembangan politik yang ada.

Terkadang polisi juga bisa tampil begitu humanis sesuai harapan rakyat pada umumnya. Tetapi dalam situasi tertentu ia juga bisa berubah menjadi sangat bengis karena membela kepentingan penguasa yang di dukungnya.


Menuju NKRI?

Setelah lebih dari 20 tahun reformasi bergulir, politik Indonesia ternyata masih juga menjadi ajang “rebutan kuasa”. Kalau dulu pada zaman Orde baru (Orba) berkuasa eksistensi daripada tentara begitu digdaya, kini telah muncul kekuatan baru yang bernama Kepolisian Republik Indonesia. Secara yuridis formal, jalan demokrasi yang kita tempuh memang telah memberikan mandat penuh bagi mereka sebagai penegak hukum dan keamanan negara.

Tetapi dalam perjalanannya, mandat tersebut tidak selalu dijalankan sebagaimana mestinya. Selalu ada saja penyimpangan penyimpangan sehingga membuat tujuan yang ingin dicapai tidak bisa diwujudkan sebagaimana mestinya. Sebagai contoh para pimpinan Polri, yang sering mengusung tagline “democratic policing” atau perpolisian demokratis, dinilai sering kali gagal menunjukkan komitmennya.

Adanya ruler appointed police alias jenis polisi pemerintah seperti Polri , seolah ditakdirkan untuk sulit berjarak dengan kekuasaan yang ada. Ini juga kultur warisan yang mereka dapat, terutama selama 32 tahun berada dalam payung lembaga yang bernama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Juga ada gelagagat masih mewarisi semangat polisi pada era pemerintah kolonial Belanda.

Fenomena tersebut menurut Peneliti militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, bisa berpotensi menjadikan Indonesia sebagai Negara Polisi yaitu suatu kondisi di mana penguasa memelihara kekuasaan dengan jalan mengawasi, menjaga, dan mencampuri lapangan kehidupan rakyat dengan alat kekuasaannya.

"Negara polisi adalah suatu kondisi negara di mana penguasa memelihara kekuasaan dengan jalan mengawasi, menjaga, dan mencampuri lapangan kehidupan rakyat dengan alat kekuasaan," ujar Khairul seperti dikutip oleh Republika co.id.18/9/19.

Apakah berdasarkan kejadian dan peristiwa yang terjadi saat ini sudah bisa dijadikan indikasi bahwa kita memang dedang menuju Negara Kepolisian Republik Indonesia? Atau semua itu sebenarnya hanya merupakan perilaku yang sifatnya temporal saja karena dipengaruhi oleh watak rejim yang sekarang berkuasa?

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال