Nilai Tukar Rupiah Melemah, Harga BBM Non-Subsidi Terancam Naik

ISI BBM: Pengendara sepeda motor mengisi BBM non-subsidi – Foto Net


BORNEOTREND.COM, JAKARTA - Harga barang-barang impor termasuk bahan bakar minyak (BBM) khususunya yang non-subsidi diperkikaran akan melonjak menyusul melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang diprediksi bisa mencapai Rp 17.000 per dolar AS.

"Impor Indonesia 1 juta barel per hari berarti Indonesia harus mengeluarkan uang lebih banyak. Nah kalau impornya banyak, harga BBM non subsidi kemungkinan akan naik lagi," kata Pengamat Ekonomi, Mata Uang & Komoditas Ibrahim Assuaibi seperti dikutip detik.com, Kamis (25/9/2025).

Kemudian harga pupuk juga dapat naik karena ada beberapa bahan bakunya yang masih impor. Menurut Ibrahim, kondisi ini dapat memberatkan petani karena harga pupuk yang semakin mahal.

Lebih lanjut, ia menilai kenaikan harga BBM akan turut berdampak pada naiknya barang-barang kebutuhan pokok. Untuk itu, ia menilai pemerintah perlu mengantisipasi agar nilai tukar dolar AS tidak menyentuh level Rp 17.000.

"Kalau transportasinya naik, harga komoditas seperti makanan pokok sayur-sayuran di pasar itu juga akan mengalami kenaikan. Ini yang harus diantisipasi oleh pemerintah supaya Rupiah jangan sampai menyentuh di level 17.000. Ini sangat bahaya karena kondisi ekonomi saat ini di Indonesia sudah tidak baik-baik saja," jelasnya.

Pengamat Komoditas dan Mata Uang Doo Financial Futures, Lukman Leong mengatakan hampir semua komoditas akan mengalami kenaikan jika dolar AS terus menguat, terutama di BBM, CPO, logam mulia hingga logam industri.

"Harga naik, karena banyak yang sensitif pada dolar, daya beli menurun. Semua komoditas, karena pada umumnya dinilai dalam dolar," ujarnya kepada detikcom.

Menurutnya, selama ini langkah Bank Indonesia (BI) dalam menstabilkan rupiah sudah cukup maksimal. Namun, ia menilai BI harus berusaha lebih kuat lagi untuk menstabilkan mata uang RI.

"Langkah (BI) sudah maksimal. Kecuali apabila pemerintah menganggap situasi sudah krisis, bisa mengatur batas transaksi fx atau kontrol devisa. Namun hal ini blm diperlukan, karena bisa set back oleh sentimen investor yang memburuk," terangnya.

Sumber: detik.com

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال