Hukum dan Kekuasaan


Oleh: Mohammad Effendy 
(Forum Ambin Demokrasi)


Ada ungkapan yang sudah sering dibaca dan didengar; jika kita membiarkan terjadinya ketidakadilan atau bahkan kita sendiri yang menanam benih ketidakadilan, maka yakinlah suatu waktu ketidakadilan tersebut akan menimpa diri kita sendiri. Sekiranya hal itu tidak terjadi atau tidak sempat dirasakan, maka tanpa disadari kita telah menyisakan warisan yang akan ditanggung oleh anak dan keluarga di masa yang akan datang.

Ungkapan di atas adalah bagian dari konsep keseimbangan yang menjadi dasar penciptaan alam semesta oleh al Khaliq – Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Berkuasa. 

Semua orang akan merasakan dan sekaligus dirasakan benih-benih perbuatan yang dia lakukan. Mereka yang berusaha menanam benih kebaikan maka ia akan menuai buahnya, bisa untuk dirinya sendiri maupun untuk anak dan keluarganya. Sebaliknya, mereka yang menebarkan keburukan maka ia akan menerima dampaknya dan itu hanya soal waktu saja. Tuhan adalah pembuat skenario terbaik untuk menetapkan kapan waktu yang tepat untuk menyerahkan kado kebaikan dan/atau mengirimkan goncangan petir yang menakutkan.

Mereka yang diberi kesempatan memegang kekuasaan baik berupa jabatan ataupun kelebihan kekayaan memiliki peluang yang sangat besar untuk menggunakannya bagi kemaslahatan bersama. Akan tetapi sekaligus pula punya potensi kuat untuk disalahgunakan sehingga menimbulkan huru-hara dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Sebenarnya, kecenderungan untuk memegang amanah dengan lurus dan/atau melakukan penyimpangan berada pada posisi netral. Akan tetapi karena pada diri kita tertanam benih-benih kerakusan serta egoisme, maka posisi netral tersebut lebih menguat kepada tindakan penyalahgunaan jabatan atau kekuasaan.

Oleh karena itulah dalam penyelenggaraan pemerintahan selalu dibuat sistem yang akan menjaga agar potensi penyimpangan dapat dinetralisir dengan baik. Salah satu sistem yang sudah banyak digunakan di negara modern adalah membangun hukum yang mengatur semua perilaku personal maupun komunitas dalam interaksi sosial. Hukum yang memuat kesepakatan bersama untuk dipedomani harus menjadi landasan dalam setiap tindakan dan melakukan hubungan satu sama lain.

Hukum yang menjadi pedoman dasar dimaksud akan menjadi kuat dan berwibawa jika ia ditaati oleh semua pihak sesuai dengan porsinya. Penyelenggara pemerintahan diberikan rambu-rambu yang mengatur bagaimana ia membuat dan melakukan kebijakan agar tujuan kehidupan bernegara dapat dicapai secara maksimal. Sementara masyarakat dibimbing dan dibina secara terus menerus agar mengikuti norma-norma hukum dalam kehidupan bersama.

Tentu saja potensi pelanggaran terhadap norma hukum selalu terbuka baik yang dilakukan oleh penyelenggara pemerintahan maupun rakyat pada umumnya. Akan tetapi oleh karena hukum juga mengatur tentang mekanisme penyelesaian terhadap pelanggaran rambu-rambu yang sudah ditetapkan, maka semuanya harus mengacu kepada prosedur yang sudah tersedia tersebut.

Persoalan serius yang sedang menimpa bangsa kita adalah menjadikan hukum sebagai alat untuk dapat merebut kekuasaan baik dalam bentuk jabatan maupun untuk akses ekonomi bagi segelintir orang. Sebagian dari norma hukum sengaja dibuat untuk memberi legalitas bagi mereka yang rakus dengan kekuasaan. Sebagian lagi norma hukum sengaja ditafsirkan untuk kepentingan mereka yang berkuasa sekaligus melakukan tindakan menutup mulut bagi orang-orang yang kritis dan mencoba melakukan perlawanan.

Sekarang ini semua orang dapat menyaksikan denga kasat mata bagaimana tindakan ketidakadilan berlangsung di sekitar kita dan mereka yang melakukannya dengan penuh percaya diri mengutip Pasal Undang-Undang yang dijadikan dasarnya. Mereka melupakan pelajaran hukum yang mungkin pernah didengarnya di ruang kuliah. Teori hukum telah mengajarkan bahwa gradasi hukum memiliki tingkatan, yakni; membangun keadilan, menjaga kepastian, dan/atau memberikan kemanfaatan.

Jika keadilan masih belum dapat maksimal ditegakkan, maka setidaknya hukum dapat memberi kepastian agar masyarakat dapat beraktivitas dengan tenang. Ada negara yang memberlakukan sanksi keras dengan pemecatan terhadap aparat hukum yang menerima “suap” berapapun nilainya. 

Mungkin sanksi itu dirasakan kurang adil karena tidak mempertimbangkan nominal suapnya, namun ia telah memberikan sandaran kepastian dalam penerapannya. Selanjutnya, hukum juga membuka peluang agar penegakannya memberi kemanfaatan bagi banyak orang, misalnya adanya pengaturan secara khusus untuk tindak pidana anak.  

Sekiranya tiga pilihan tingkatan penegakkan hukum di atas salah satunya dapat kita terapkan dengan konsisten, maka masyarakat masih dapat menerima dengan lapang dada. Akan tetapi ironisnya; semua pilihan tidak ada yang terlaksana dengan baik. Penegakkan hukum kita tidak memberi rasa keadilan, hukum juga tidak memberi ruang kepastian karena dapat berubah setiap saat, dan akhirnya hukum kita sangat jauh dari kemanfaatan bagi kemaslahatan banyak orang.

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال